Wednesday 2 July 2014

Teori-Teori mengenai Otonomi Desa

Fiolosofi otonomi desa dianggap sebagai kewenangan yang telah ada, tumbuh mengakar dalam adat istiadat desa bukan juga berarti pemberian atau desentralisasi. Otonomi desa berarti juga kemampuan masyarakat dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan secara legal formal diatur oleh pemerintah pusat melalui undangundang[1].

Selain Itu dengan mengacu pada teori strukturasi pemerintahan desa yang diturunkan dari pemikiran Giddens (1984), dapat ditunjukkan betapa hubungan timbalbalik antara “agensi dan struktur” sangat mempengaruhi derajat kinerja tata-pemerintahan desa yang ditampilkan ke hadapan masyarakat[2]. Teori strukturasi ini membagi dua entitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Pemerintahan desa sebagai agen sangat dipengaruhi struktur pemerintahan khususnya pada tataran yang lebih tinggi. Kinerjanya sangat bergantung bagaimana anggaran dibentuk. Pengaruh masyarakat desa sebagai suatu struktur juga dapat memengaruhi pemerintahan desa dapat berjalan


Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten[3].

Desa dalam pengertian secara umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat  universal, terdapat dimanapun didunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang  terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan terutama yang tergantung kepada pertanian, desa-desa dimanapun cenderung memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang sama[4]. (Rahadjo, 1999:28).

Dalam sebuah penelitian, definisi konsep sangat diperlukan untuk  memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah definisi abstraksi mengenai gejala suatu realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Maleong, 1997:67).

Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor pertanian. Pengertian Desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Misalnya, Egon E. Bergel (1955: 121), mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants)”. Sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang harus melekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Sementara itu Koentjaraningrat (1977) memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat” (1977:162). Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.

Selanjutnya, menurut Paul H. Landis (1948:12-13), seorang sarjana sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat, mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian. Beberapa Konsep Khusus Mendukung Pemahaman Pengertian tentang Desa Ada sejumlah konsep khusus yang perlu dibahas lebih lanjut guna memahami pengertian desa : rural, urban, suburban atau rurban, village, town dan city. Di dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia – Indonesia-Inggris suntingan S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwodarminto (1972), rural diartikan ”seperti desa, seperti di desa” dan urban diartikan “dari kota, seperti di kota”

Rural yang secara umum di terjemahkan menjadi “Perdesaan” bukanlah desa (village).demikian pula urban atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town, city). Konsep suburban atau rurban sering diberi arti atau diterjemahkan dengan “pinggiran kota”. Yang lebih tepat, suburban adalah merupakan bentuk antara (in-beetwewn): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan daerah, maka daerah suburban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengah-tengah daerah rural dan urban. Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka suburban merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah antara rural dan urban. Pinggiran kota dalam arti batas terluar dari sebuah kotapraja disebut urban fringe atau country side. Bertolak dari kenyataan umum maupun secara teoritis, untuk memahami pengertian tentang desa tampaknya juga tidak dapat mengabaikan perspektif evolusi. Dalam hal ini konsep-konsep desa (village), kota kecil (town) dan kota besar (city) sering dilihat sebagai suatu gejala yang berkaitan satu sama lain dalam bentuk suatu jaringan atau pola tertentu dalam proses kontinuitas perubahan. Berikut ini Bergel (1955:121-135) memberikan gambaran yang cukup sistematis tentang hal dimaksud. Menurut Bergel istilah desa (village) dapat diterapkan untuk dua pengertian. Pertama, desa diartikan sebagai setiap pemukiman para petani, terlepas dari ukuran besar-kecilnya. Kedua, terdapat juga desa-desa perdagangan. Yang dimaksud desa perdagangan tidak berarti bahwa seluruh penduduk desa terlibat dalam kegiatan perdagangan, melainkan hanya sejumlah orang saja dari desa itu yang memiliki mata pencahariaan dalam bidang perdagangan.
Sementara itu ada pula upaya untuk menjelaskan pengertian tentang desa melalui cara membandingkan karakteristik desa yang kontras dengan karakteristik kota sebagaimana dikemukakan Roucek dan Warren (1962) dalam tabel berikut ini.

Karakteristik Desa
Karakteristik Kota
1. besarnya peranan kelompok primer.
2. faktor geografik yang menentukan sebagai
dasar pembentukan kelompok/asosiasi.
3. hubungan lebih bersifat intim dan awet.
4. homogen.
5. mobilitas soscial rendah.
6. keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai
unit ekonomi.
7. populasi anak dalam proporsi yang lebih
besar.
1. besarnya peranan kelompok sekunder.
2. anonimitas merupakan ciri kehidupan
masyarakatnya.
3. heterogen.
4. mobilitas sosial tinggi.
5. tergantung pada spesialisasi.
6. hubungan antara orang satu dengan yang
lebih di dasarkan atas kepentingan dari pada
kedaerahan.
7. lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas
untuk mendapatkan barang dan pelayanan.
8. lebih banyak mengubah lingkungan.

Antara Pengertian Desa dan Perdesaan

Kita juga perlu memahami dalam hal apa istilah desa cocok digunakan dan kapan pula menggunakan istilah perdesaan. Istilah perdesaan merujuk pada suatu daerah desa dan sekitarnya, atau padanan kata rural di dalam bahasa Inggris. Dalam pemakaian sehari-hari istilah perdesaan atau rural itu mudah memahaminya. Tetapi, jika harus didefinisikan, ternyata sukar juga merumuskan pengertiannya secara khusus. Antara istilah desa dan perdesaan berbeda-beda dalam kedua bahasa tersebut. Perbedaan konsep tersebut dapat ditinjau dari berbagai tempat berpijak. Desa dan perdesaan misalnya, akan terlihat jelas bila keduanya diperbandingkan dengan kota dan perkotaan. Untuk keperluan sensus, misalnya Biro Sensus Amerika Serikat menganggap suatu daerah pemukiman itu masih rural bila penduduknya kurang dari 2.500 orang (Ford, 1978). Di Jepang, Meksiko, Filipina, di negara-negara Eropa, di banyak negara Afrika, di dunia Arab, maupun di Amerika Tengah dan Selatan, pengertian konsep dan indikator statistik tentang desa itu juga berbeda-beda. Biro Pusat Statistik Republik Indonesia yang menyelenggarakan sensus penduduk setiap sepuluh tahun sekali bahkan tidak secara jelas memberikan definisi tentang perdesaan itu. Artinya, tidak ada batasan yang jelas pemukiman yang bagaimana yang disebut desa. Paling tidak, batasan seperti itu tidak terlihat dlam sensus penduduk tahun 1990, kecuali bahwa pemukiman yang bukan kota (daerah perkotaan) adalah desa (BPS, 1992). Di kota digunakan kategori kelurahan, sedangkan di kabupaten digunakan kategori desa atau perdesaan

Sementara itu di dalam peraturan perundangan RI Indonesia yang lebih baru, dapat dijumpai dalam dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa yang dapat pula diperbandingkan dengan PP No. 73 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Kelurahan. Di dalam PP No. 72 Tahun 2005 yang antara lain didasarkan atas penerapan UU otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, dinyatakan bahwa: ... desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar ini pulalah maka di masing-masing daerah kemudian dapat menyesuaikan dengan keadaan-keadaan setempat, misalnya di Provinsi Sumatra Barat, mengaturnya sendiri dengan menerapkan istilah kenagarian (nagari) yang terdapat di daerah kabupatennya.





[1] Sumber Sapari. Tata Pemerintahan dan administrasi Pemerintahan Desa ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977 ) hal. 41
[2] Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity Press 1984.
[3] Hakim, Abdul & Endah Setyowati, Perubahan Kelembagaan Pemerintahan Desa dan Tantangannya terhadap
Pengembangan Sumber Daya Aparatur Desa. diunduh dari hal 3
[4]

No comments:

Post a Comment