Dalam ranah demokrasi, Partai Politik merupakan
salah satu institusi instrumen penting dari pelaksanaan sistem politik demokrasi
yang modern. Demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut dengan
keterwakilan (representativeness), baik keterwakilan dalam lembaga
formal kenegaraan seperti parlemen (DPD/DPRD) maupun keterwakilan aspirasi
masyarakat dalam institusi kepartaian. Hal ini berbeda dengan demokrasi
langsung sebagaimana yang dipraktekkan di masa Yunani Klasik, demokrasi modern
sebagai demokrasi tidak langsung membutuhkan media penyampaian pesan politik
kepada negara (pemerintah). Media yang berupa institusi tersebut biasa kita
sebut sebagai partai politik dan keberadaannya harus diatur dalam konstitusi negara
modern.
Mengingat
fungsi partai politik yang begitu penting, sering keberadaannya dan kinerjanya
merupakan ukuran mutlak bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara.
Meskipun ia bukan merupakan pelaksanaan dari suatu pemerintahan, namun
keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan
pemerintahan dijalankan.
Posisi
dan peranan partai politik dalam proses interaksi yang menjembatani antara negara
dengan masyarakat dalam wujud kebijakan publik, telah menjadi idealitas terjauh
dari identitas partai modern, sebab bila partai politik tidak dapat beranjak
dari fungsi konvensionalnya yang sebatas perebutan kekuasaan semata, maka dalam
konteks dinamika sosial yang ada hal tersebut tidak lagi menemukan signifikansi
yang tinggi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan informasi membuat
masyarakat semakin banyak tahu akan kehidupan yang dijalaninya. Masyarakat modern
adalah mereka yang memandang politik tidak lagi sebatas ikatan ideologis dan
keyakinan an sich. Masyarakat modern lebih melihat politik sebagai
sebuah proses aktualisasi diri dan kepentingan mereka yang akan diwujudkan
dalam bentuk kepentingan publik.
Partai
politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik,
yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil,
berperan mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk
kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena
pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi
politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat
pejabat politik yang dipercayainya. Mengikuti logika demokrasi, para pejabat
politik (legislatif dan eksekutif) yang telah memperoleh mandat melalui
partisipasi politik masyarakat dalam pemilu harus mengelola sumberdaya
ekonomi-politik (kekuasaan dan kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi,
akuntabilitas dan responsivitas untuk masyarakat. Dengan kalimat lain,
jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat itu bukan untuk
kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan harus
dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini
sangat penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik
membuktikan bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah
lingkaran oligharki yang jauh dari masyarakat.
Sejak berkembangnya reformasi
politik sehingga terciptanya revolusi partisipasi rakyat di Indonesia, maka
partai politik semakin menjadi bagian penting dari sistem partai politik
modern. Roy. C. Macridis mengatakan, tidak ada sistem partai politik yang dapat
berlangsung tanpa partai politik. Di dalam masyarakat modern partai politik
menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik. Partai Politik sebagai suatu
asosiasi politik yang mengaktifkan, memobilisasi masyarakat, mewakili
kepentingan tertentu dan melakukan pengkaderan yang kemudian melahirkan
pemimpin telah menjadi suatu keharusan. Partai Politik dengan demikian menjadi
salah satu instrumen penting untuk memobilisasi masyarakat ke dalam kekuasaan negara.
Ini berarti parpol pada dasarnya adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan
untuk menjalankan pemerintahan.
Perkembangan
negara Indonesia yang memasuki babak baru dengan menjalani masa transisi serta
upaya demokratisasi dalam kehidupan bernegara membutuhkan sarana atau saluran
politik yang koheren dengan kebutuhan masyarakat di suatu negara. Partai
politik adalah salah satu sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi
untuk menghasilkan output kebijakan untuk kepentingan rakyat atau
sebaliknya. Dalam studi Klingemann demokratisasi sebuah negara tidak hanya bisa
dilihat dari peran Partai Politik untuk memasukkan agenda-genda kebijakan
publik yang tidak hanya bermanfaat bagi konstituen pemilihnya, melainkan juga
bermanfaat bagi seluruh komponen bangsa yang ada. Ukuran demokratis tidaknya
partai politik misalnya dapat dilihat dalam kerangka apakah aspirasi konstituen
sebagaimana yang dicerminkan dalam janji-janji partai politik terwujud dalam impelementasinya.
Selain itu masih banyak parameter yang bisa dijadikan indikator keberhasilan
dan kegagalan demokrasi dalam kaitannya dengan partai politik. Dalam kasus
Indonesia misalnya, apakah fungsi-fungsi parpol seperti sosialisasi, rekrutmen,
artikulasi maupun agregasi parpol sudah dilaksanakan dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai ujung tombak demokrasi sesuai dengan
eksistensinya dan bila ini belum terwujud demokratisasi di suatu negara masih
jauh dari tujuan demokrasi yang sebenarnya.
Salah
satu prasyarat dari terwujudnya demokrasi adalah adanya partai politik yang
berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik masyarakat dan
sebagai media untuk melakukan bargaining kebijakan dengan negara
(pemerintah) karena itu sebagian pihak
menilai yang paling penting barangkali bukan mempersoalkan mengenai keberadaan
parpol secara fisik di suatu negara. Demi terwujudnya demokrasi dan
tersalurkannya aspirasi publik, justru yang jauh lebih penting adalah menguak
kinerja dan efektifitas fungsi parpol jelas tidak bisa dilepaskan dari
berdirinya parpol itu sebagai suatu kebutuhan politik masyarakat. Asal usul
secara historis dan berbagai aspek kesejarahan yang lain, terutama perkembangan
politik di Indonesia di masa Orde Lama, Orde Baru dan reformasi perlu mendapat
sorotan agar analisis atas kinerja dan prilaku partai politik bisa didahulukan
secara menyeluruh.
Di
Indonesia, kita melihat pertautan antara kebutuhan politik yang disalurkan
melalui partai politik masih sangat erat hubungannya dengan peta ideologisasi
yang menjadi ciri khas pluralitas masyarakat Indonesia.[1] Peta ideologi yang salah satunya pernah
dirumuskan Herbeth Feith dengan baik dalam melakukan kategorisasi partai
politik pada tahun 1955 adalah kenyataan yang tidak terelakkan dari bangsa ini,
sebagaimana masyarakat yang terus berkembang, ideologi juga turut berkembang
sejalan dengan tuntutan perubahan yang ada dalam diri masyarakat itu sendiri.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai kaderisasi di
partai yang sangat lemah. Ini dikatakan sebagai persoalan penting karena
sesungguhnya di dalam partai perlu digodok calon-calon pemimpin baik lokal
maupun nasional yang memiliki visi demokrasi dan bermental jujur.
Partai
Politik berproses untuk dapat berkuasa, dan dengan demikian memimpin proses
pengambilan kebijakan publik. Hal ini mengharuskan partai politik untuk
mempersiapkan calon-calon pemimpin yang diharapkan mampu mengatur jalannya
pemerintahan. Dalam proses internal partai itulah, salah satu fungsi partai
politik urgen untuk dibahas, yakni fungsi perkaderan. Proses pematangan kader untuk
mampu memimpin, baik dalam konteks pemerintahan lokal maupun nasional, itulah
yang perlu mendapat sorotan tajam, khususnya mengenai partai-partai di
Indonesia. Dalam kenyataan Indonesia pasca kemerdekaan, dapat diakatakan adanya
kegagalan partai politik dalam melahirkan kepemimpinan yang berkualitas.[2] Pola kaderisasi yang masih setengah hati,
serampangan, dan miskin konsep seolah menjadi identitas yang tepat bagi
keseriusan pembangunan sumber daya manusia dalam sebuah partai.
Pada
masa Orde Baru, pembentukan partai politik yang idealnya menjadi wadah
perjuangan untuk menyalurkan kepentingan rakyat berhak mengalami distorsi. Pada
babak baru perjalanan bangsa dengan lahirnya era reformasi, terutama sejak
dilaksanakan Pemilu 1999, kehidupan demokrasi mengalami perubahan yang cukup
berarti, dimana partai politik mempunyai otonomi yang luas untuk menata dan
mengembangkan dirinya. Para aktivis partai politik berlomba-lomba untuk
menyambut sistem demokrasi di masa ini. Dinamika politik yang turun naik secara
drastis dalam perebutan pengaruh di masyarakat membawa bangsa ini pada euforia
politik. Para ahli mengatakannya sebagai masa transisi menuju demokrasi. Di
masa transisi ini, euforia politik mendorong terjadinya pragmatisme rekrutmen
para pemimpin partai. Partai-partai berpacu untuk mencari figur-figur alternatif
yang mempunyai kemampuan unggul.[3]
Dinamika
politik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rejim Orba membawa Indonesia
ke arah reformasi politik yang lebih demokratis. Dinamika ini juga ditandai
dengan banyaknya bermunculan partai politik, salah satunya Partai Amanat
Nasional yang dikenal sebagai partai yang mengusung reformasi politik di
Indonesia. Di samping itu banyak pula bermunculan partai-partai baru baik yang
berideologi sama aupun berbeda. Ini tentunya menjadi permasalahan bagaimana partai
yang berideologi sama ini serta otomatis memiliki target basis massa yang sama
dalam memenangi hati konstituennya, belum lagi bila dibenturkan dengan banyak
partai lainnya. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari setiap partai yang
ikut berkompetisi, khususnya PAN.
Bila dilihat dari presentase
hasil perolehan PAN pada pemilu legislatif 2004 lalu, PAN mendapatkan sebanyak 7.303.324 suara atau setara dengan 6,44%.[4], atau berada di peringkat ke
tujuh dalam perolehan suara
nasional. Suatu hasil yang dapat dikatakan cukup baik untuk mengahadapi pemilu
selanjutnya. Dari perolehan ini PAN harus banyak berbenah diri dalam menghadapi
pemilu legislatif 2009.
Munculnya banyak partai baru
menjelang pemilihan umum legislatif 2009 nanti menjadikan arena pertarungan
yang begitu ketat antar partai, belum lagi kalau kita melihat pertarungan yang
dilakukan antar partai yang memiliki basis massa yang sama dikarenakan banyak
partai yang memiliki ideologi, platform atau azas yang sama. Untuk itu setiap
partai politik yang ikut menjadi kontestan pemilu harus mempersiapkan strategi
yang jitu dan merekrut orang-orang yang dianggap layak dan kapabel untuk duduk
di lembaga parlemen atau legislatif. Masalah bagaimana sebuah partai merekrut
orang-orang yang akan djadikan calon legislatif tentunya sedikit banyak mempengaruhi
pilihan konstituen, sebab pastinya konstituen memilih orang-orang yang
dianggapnya layak dan pantas untuk menduduki jabatan publik tersebut.
Kita
ketahui bahwa salah satu arus utama rekrutmen adalah kaderisasi dan seleksi
pemimpin dalam sistem kenegaraan yang demokratis melalui partai politik. Pola
rekrutmen pemimpin memang terdapat beberapa perbedaan yang mendasar, seiring
dengan berubahnya sistem politik yang dikembangkan. Tuntutan adanya suatu sistem
yang demokratis menjadi faktor yang penting dan punya pengaruh besar pada era
reformasi. Saat ini beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh partai
politik adalah bagaimana mulai menata diri agar proses seleksi kader / pemimpin
mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Peran
partai politik dalam merekrut kader partai adalah sangat penting, ini sesuai
dengan salah satu fungsi dari politik itu sendiri yakni rekrutmen politik. Yang
dimaksud dengan rekrutmen politik adalah partai politik berfungsi dan mencari
orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik dan proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Hal ini berarti partai
menjadi wadah rekrutmen politik (kader) dan sekaligus menyiapkan calon-calon
pemimpin baik di level lokal maupun nasional. Rekrutmen politik tidak saja
menjamin kontinuitas dan kelestarian partai. Sekaligus merupakan salah satu
cara untuk menyeleksi calon-calon pemimpin.
Kaderisasi
di organisasi manapun merupakan urat nadi bagi sebuah organisasi. Kaderisasi
adalah proses penyimpanan Sumber Daya Manusia (SDM) agar kelak mereka menjadi
para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara lebih
baik. Dalam pengkaderan, ada dua persoalan yang penting. Pertama, bagaimana
usaha-usaha yang dilakukan oleh organisasi untuk peningkatan kemampuan baik
keterampilan maupun pengetahuan. Kedua, adalah kemampuan untuk menyediakan stok
kader atau SDM organisasi, dan terutama dikhususkan pada kaum muda. Ini
merupakan bentuk pendidikan politik, dimana selama ini peran tersebut
terabaikan. Namun yang banyak terjadi sekarang ini adalah proses seleksi yang
serampangan tanpa kaedah-kaedah tertentu yang dilakukan oleh partai politik,
dapat dilihat bahwa parpol tidak menseleksi secara ketat siapa-siapa yang akan
dijadikan wakil rakyat nantinya. Para pemimpin partai politik besar di
Indonesia kerap berasal bukan dari kualifikasinya, melainkan dari unsur
“kebangsawanan” tertentu.
Hal inilah yang menjadikan
dorongan bagi penulis untuk meneliti dan mempelajari mekanisme seperti apa yang
diterapkan oleh Partai Amanat Nasional untuk bisa bersaing dalam pemilu
legislatif 2009, serta juga mencoba mendeskripsikan masalah-masalah apa saja yang dihadapi PAN di lapangan dalam
merekrut orang-orang yang menjadi calon legislatif.
No comments:
Post a Comment