Wednesday 27 March 2013

PROSES REKRUTMEN POLITIK DALAM PARTAI POLITIK (STUDI :PADA PARTAI AMANAT NASIONAL)

Dalam ranah demokrasi, Partai Politik merupakan salah satu institusi instrumen penting dari pelaksanaan sistem politik demokrasi yang modern. Demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut dengan keterwakilan (representativeness), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen (DPD/DPRD) maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Hal ini berbeda dengan demokrasi langsung sebagaimana yang dipraktekkan di masa Yunani Klasik, demokrasi modern sebagai demokrasi tidak langsung membutuhkan media penyampaian pesan politik kepada negara (pemerintah). Media yang berupa institusi tersebut biasa kita sebut sebagai partai politik dan keberadaannya harus diatur dalam konstitusi negara modern.
            Mengingat fungsi partai politik yang begitu penting, sering keberadaannya dan kinerjanya merupakan ukuran mutlak bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara. Meskipun ia bukan merupakan pelaksanaan dari suatu pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan.
            Posisi dan peranan partai politik dalam proses interaksi yang menjembatani antara negara dengan masyarakat dalam wujud kebijakan publik, telah menjadi idealitas terjauh dari identitas partai modern, sebab bila partai politik tidak dapat beranjak dari fungsi konvensionalnya yang sebatas perebutan kekuasaan semata, maka dalam konteks dinamika sosial yang ada hal tersebut tidak lagi menemukan signifikansi yang tinggi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan informasi membuat masyarakat semakin banyak tahu akan kehidupan yang dijalaninya. Masyarakat modern adalah mereka yang memandang politik tidak lagi sebatas ikatan ideologis dan keyakinan an sich. Masyarakat modern lebih melihat politik sebagai sebuah proses aktualisasi diri dan kepentingan mereka yang akan diwujudkan dalam bentuk kepentingan publik.
            Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik, yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil,  berperan mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Mengikuti logika demokrasi, para pejabat politik (legislatif dan eksekutif) yang telah memperoleh mandat melalui partisipasi politik masyarakat dalam pemilu harus mengelola sumberdaya ekonomi-politik (kekuasaan dan kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsivitas untuk masyarakat. Dengan kalimat lain, jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat itu bukan untuk kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan harus dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini sangat penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik membuktikan bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah lingkaran oligharki yang jauh dari masyarakat.    
Sejak berkembangnya reformasi politik sehingga terciptanya revolusi partisipasi rakyat di Indonesia, maka partai politik semakin menjadi bagian penting dari sistem partai politik modern. Roy. C. Macridis mengatakan, tidak ada sistem partai politik yang dapat berlangsung tanpa partai politik. Di dalam masyarakat modern partai politik menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik. Partai Politik sebagai suatu asosiasi politik yang mengaktifkan, memobilisasi masyarakat, mewakili kepentingan tertentu dan melakukan pengkaderan yang kemudian melahirkan pemimpin telah menjadi suatu keharusan. Partai Politik dengan demikian menjadi salah satu instrumen penting untuk memobilisasi masyarakat ke dalam kekuasaan negara. Ini berarti parpol pada dasarnya adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk menjalankan pemerintahan.
            Perkembangan negara Indonesia yang memasuki babak baru dengan menjalani masa transisi serta upaya demokratisasi dalam kehidupan bernegara membutuhkan sarana atau saluran politik yang koheren dengan kebutuhan masyarakat di suatu negara. Partai politik adalah salah satu sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi untuk menghasilkan output kebijakan untuk kepentingan rakyat atau sebaliknya. Dalam studi Klingemann demokratisasi sebuah negara tidak hanya bisa dilihat dari peran Partai Politik untuk memasukkan agenda-genda kebijakan publik yang tidak hanya bermanfaat bagi konstituen pemilihnya, melainkan juga bermanfaat bagi seluruh komponen bangsa yang ada. Ukuran demokratis tidaknya partai politik misalnya dapat dilihat dalam kerangka apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang dicerminkan dalam janji-janji partai politik terwujud dalam impelementasinya. Selain itu masih banyak parameter yang bisa dijadikan indikator keberhasilan dan kegagalan demokrasi dalam kaitannya dengan partai politik. Dalam kasus Indonesia misalnya, apakah fungsi-fungsi parpol seperti sosialisasi, rekrutmen, artikulasi maupun agregasi parpol sudah dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai ujung tombak demokrasi sesuai dengan eksistensinya dan bila ini belum terwujud demokratisasi di suatu negara masih jauh dari tujuan demokrasi yang sebenarnya.
            Salah satu prasyarat dari terwujudnya demokrasi adalah adanya partai politik yang berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik masyarakat dan sebagai media untuk melakukan bargaining kebijakan dengan negara (pemerintah)  karena itu sebagian pihak menilai yang paling penting barangkali bukan mempersoalkan mengenai keberadaan parpol secara fisik di suatu negara. Demi terwujudnya demokrasi dan tersalurkannya aspirasi publik, justru yang jauh lebih penting adalah menguak kinerja dan efektifitas fungsi parpol jelas tidak bisa dilepaskan dari berdirinya parpol itu sebagai suatu kebutuhan politik masyarakat. Asal usul secara historis dan berbagai aspek kesejarahan yang lain, terutama perkembangan politik di Indonesia di masa Orde Lama, Orde Baru dan reformasi perlu mendapat sorotan agar analisis atas kinerja dan prilaku partai politik bisa didahulukan secara menyeluruh.
            Di Indonesia, kita melihat pertautan antara kebutuhan politik yang disalurkan melalui partai politik masih sangat erat hubungannya dengan peta ideologisasi yang menjadi ciri khas pluralitas masyarakat Indonesia.[1] Peta ideologi yang salah satunya pernah dirumuskan Herbeth Feith dengan baik dalam melakukan kategorisasi partai politik pada tahun 1955 adalah kenyataan yang tidak terelakkan dari bangsa ini, sebagaimana masyarakat yang terus berkembang, ideologi juga turut berkembang sejalan dengan tuntutan perubahan yang ada dalam diri masyarakat itu sendiri. Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai kaderisasi di partai yang sangat lemah. Ini dikatakan sebagai persoalan penting karena sesungguhnya di dalam partai perlu digodok calon-calon pemimpin baik lokal maupun nasional yang memiliki visi demokrasi dan bermental jujur.
            Partai Politik berproses untuk dapat berkuasa, dan dengan demikian memimpin proses pengambilan kebijakan publik. Hal ini mengharuskan partai politik untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin yang diharapkan mampu mengatur jalannya pemerintahan. Dalam proses internal partai itulah, salah satu fungsi partai politik urgen untuk dibahas, yakni fungsi perkaderan. Proses pematangan kader untuk mampu memimpin, baik dalam konteks pemerintahan lokal maupun nasional, itulah yang perlu mendapat sorotan tajam, khususnya mengenai partai-partai di Indonesia. Dalam kenyataan Indonesia pasca kemerdekaan, dapat diakatakan adanya kegagalan partai politik dalam melahirkan kepemimpinan yang berkualitas.[2] Pola kaderisasi yang masih setengah hati, serampangan, dan miskin konsep seolah menjadi identitas yang tepat bagi keseriusan pembangunan sumber daya manusia dalam sebuah partai.
            Pada masa Orde Baru, pembentukan partai politik yang idealnya menjadi wadah perjuangan untuk menyalurkan kepentingan rakyat berhak mengalami distorsi. Pada babak baru perjalanan bangsa dengan lahirnya era reformasi, terutama sejak dilaksanakan Pemilu 1999, kehidupan demokrasi mengalami perubahan yang cukup berarti, dimana partai politik mempunyai otonomi yang luas untuk menata dan mengembangkan dirinya. Para aktivis partai politik berlomba-lomba untuk menyambut sistem demokrasi di masa ini. Dinamika politik yang turun naik secara drastis dalam perebutan pengaruh di masyarakat membawa bangsa ini pada euforia politik. Para ahli mengatakannya sebagai masa transisi menuju demokrasi. Di masa transisi ini, euforia politik mendorong terjadinya pragmatisme rekrutmen para pemimpin partai. Partai-partai berpacu untuk mencari figur-figur alternatif yang mempunyai kemampuan unggul.[3]
            Dinamika politik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rejim Orba membawa Indonesia ke arah reformasi politik yang lebih demokratis. Dinamika ini juga ditandai dengan banyaknya bermunculan partai politik, salah satunya Partai Amanat Nasional yang dikenal sebagai partai yang mengusung reformasi politik di Indonesia. Di samping itu banyak pula bermunculan partai-partai baru baik yang berideologi sama aupun berbeda. Ini tentunya menjadi permasalahan bagaimana partai yang berideologi sama ini serta otomatis memiliki target basis massa yang sama dalam memenangi hati konstituennya, belum lagi bila dibenturkan dengan banyak partai lainnya. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari setiap partai yang ikut berkompetisi, khususnya PAN.
Bila dilihat dari presentase hasil perolehan PAN pada pemilu legislatif 2004 lalu, PAN mendapatkan sebanyak 7.303.324 suara atau setara dengan 6,44%.[4], atau berada di peringkat ke tujuh dalam perolehan suara nasional. Suatu hasil yang dapat dikatakan cukup baik untuk mengahadapi pemilu selanjutnya. Dari perolehan ini PAN harus banyak berbenah diri dalam menghadapi pemilu legislatif 2009.
Munculnya banyak partai baru menjelang pemilihan umum legislatif 2009 nanti menjadikan arena pertarungan yang begitu ketat antar partai, belum lagi kalau kita melihat pertarungan yang dilakukan antar partai yang memiliki basis massa yang sama dikarenakan banyak partai yang memiliki ideologi, platform atau azas yang sama. Untuk itu setiap partai politik yang ikut menjadi kontestan pemilu harus mempersiapkan strategi yang jitu dan merekrut orang-orang yang dianggap layak dan kapabel untuk duduk di lembaga parlemen atau legislatif. Masalah bagaimana sebuah partai merekrut orang-orang yang akan djadikan calon legislatif tentunya sedikit banyak mempengaruhi pilihan konstituen, sebab pastinya konstituen memilih orang-orang yang dianggapnya layak dan pantas untuk menduduki jabatan publik tersebut.  
            Kita ketahui bahwa salah satu arus utama rekrutmen adalah kaderisasi dan seleksi pemimpin dalam sistem kenegaraan yang demokratis melalui partai politik. Pola rekrutmen pemimpin memang terdapat beberapa perbedaan yang mendasar, seiring dengan berubahnya sistem politik yang dikembangkan. Tuntutan adanya suatu sistem yang demokratis menjadi faktor yang penting dan punya pengaruh besar pada era reformasi. Saat ini beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh partai politik adalah bagaimana mulai menata diri agar proses seleksi kader / pemimpin mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas.
            Peran partai politik dalam merekrut kader partai adalah sangat penting, ini sesuai dengan salah satu fungsi dari politik itu sendiri yakni rekrutmen politik. Yang dimaksud dengan rekrutmen politik adalah partai politik berfungsi dan mencari orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik dan proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Hal ini berarti partai menjadi wadah rekrutmen politik (kader) dan sekaligus menyiapkan calon-calon pemimpin baik di level lokal maupun nasional. Rekrutmen politik tidak saja menjamin kontinuitas dan kelestarian partai. Sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi calon-calon pemimpin.
            Kaderisasi di organisasi manapun merupakan urat nadi bagi sebuah organisasi. Kaderisasi adalah proses penyimpanan Sumber Daya Manusia (SDM) agar kelak mereka menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara lebih baik. Dalam pengkaderan, ada dua persoalan yang penting. Pertama, bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh organisasi untuk peningkatan kemampuan baik keterampilan maupun pengetahuan. Kedua, adalah kemampuan untuk menyediakan stok kader atau SDM organisasi, dan terutama dikhususkan pada kaum muda. Ini merupakan bentuk pendidikan politik, dimana selama ini peran tersebut terabaikan. Namun yang banyak terjadi sekarang ini adalah proses seleksi yang serampangan tanpa kaedah-kaedah tertentu yang dilakukan oleh partai politik, dapat dilihat bahwa parpol tidak menseleksi secara ketat siapa-siapa yang akan dijadikan wakil rakyat nantinya. Para pemimpin partai politik besar di Indonesia kerap berasal bukan dari kualifikasinya, melainkan dari unsur “kebangsawanan” tertentu.
Hal inilah yang menjadikan dorongan bagi penulis untuk meneliti dan mempelajari mekanisme seperti apa yang diterapkan oleh Partai Amanat Nasional untuk bisa bersaing dalam pemilu legislatif 2009, serta juga mencoba mendeskripsikan masalah-masalah  apa saja yang dihadapi PAN di lapangan dalam merekrut orang-orang yang menjadi calon legislatif.


[1] Koiruddin, Parpol dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal.5
[2] Ibid., hal, 105
[3] Ibid., hal. 109
[4] http://partai.info/pemilu2004/hasilpemilulegislatif.php

No comments:

Post a Comment