Saturday 12 January 2013

Strategi Pemenangan Calon Independen

Di kebanyakan Negara Demokrasi , pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum dengan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.  Pada hakekatnya pemilihan umum adalah cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai system pemiihan umum. Salah satu persyaratan dari terwujudnya demokrasi adalah adanya partai politik yang berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik masyarakat, dan sebagai media untuk melakukan bergaining kebijakan-kebijakan negara (pemerintah).  Demi perwujudan demokrasi dan tersalurnya aspirasi publik, jelas tidak bisa dilepaskan dari berdirinya partai politik itu sendiri sebagai suatu kebutuhan politik masyarakat. 
Di Indonesia, pada tingkatan penciptaan political society yang lebih demokratis  maka konsep pilkada langsung dimana seorang kepala daerah/negara dipilih secara langsung oleh rakyat lewat sebuah pemilihan umum secara langsung seperti yang diamanatkan dalam UU No.32/2004 ini harus segera diwujudkan. Dalam undang-undang ini proses pilkada diserahkan dan ditentukan oleh rakyat ditingkat daerah. Diselenggarakannya  pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu langkah maju dalam proses demokrasi di Indonesia. Melalui pilkada langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekruitmen politik lokal secara demokrasi. 
Pilkada langsung diterapkan pertama kalinya di Indonesia sejak Juni tahun 2005.  Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan kemudian direvisi berbagai penjelasan teknisnya oleh PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah karena banyaknya kejanggalan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia. Persoalan yang dalam kurun waktu satu atau dua dekade lalu seolah hanya sebuah impian, saat ini telah menjadi kenyataan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Ini menunjukkan keberhasilan dan kemajuan bagi sistem demokratisasi di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas segala-galanya dari berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.
Pada tahun 2010 kemarin, tercatat 243 pilkada dihelat di negeri ini, yaitu 236 pilkada bupati/ walikota dan 7 pilkada gubernur. Di Jawa Timur saja, sebanyak 18 kabupaten/kota secara berurutan akan menghelat pilbup/pilwali. Pilkada 2010 membuka peluang bagi pemain baru yang lebih suka menggunakan jalur calon perseorangan manakala jalur parpol susah ditembus karena umumnya parpol sudah punya calon. Bagaimana peluang calon perseorangan atau yang lebih populer disebut “calon independen” itu?
Dari pengalaman pilkada 2005 – 2008, baru pada pilkada 2008 dapat diikuti oleh calon perseorangan. Di Jawa Timur, baru Kota Probolinggo dan Kediri. Amat menarik, ketika fenomena calon perseorangan/ independen ini menyeruak di tengah kejenuhan orang ketika partai politik menampakkan gejala kerumitan proses internal yang seringkali dirasa menyulitkan calon. Kemunculan calon perseorangan dan akomodasi regulasi terhadapnya lebih bermakna berkah transisi demokrasi yakni atas kebuntuan pelembagaan partai politik yang berpadu dengan celah hukum pada produk regulasi politik kita.
Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dikonfrontasikan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang dianggap kontra-produktif dengan makna demokrasi dan Pasal 67 ayat (1) huruf d Undang Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memperbolehkan calon perseorangan. Alhasil, judicial review atas pasal-pasal tersebut merevisi terbatas UU No. 32 tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). DPR pun kemudian menerbitkan UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
MK berpandangan bahwa Pasal 67 ayat (1) huruf d Undang Undang Pemerintahan Aceh memberikan kesempatan pada calon perseorangan dalam pencalonan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah karena tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Lebih lanjut, MK menetapkan bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) harus dibuka luas agar tidak terdapat dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena dapat menimbulkan terlanggarnya hak politik warga negara yang dijamin Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. 
Celah hukum ini berpadu dengan realitas bahwa terdapat kerumitan mekanisme internal parpol terutama pada rekrutmen calon dirasa merugikan calon. Seperti gayung bersambut, calon perseorangan mendapatkan angin segar dan legitimasi hukum dan bisa ikut pilkada. Namun persoalan baru akan muncul ketika ia berhadapan dengan regulasi pemilu (persoalan “pasal”) dan penerimaan publik (persoalan “pasar”).
Ada dua hal yang membuat ‘cacat bawaan’ calon perseorangan yang bersumber dari regulasi pemilu. Ini adalah persoalan ‘pasal’. Pertama, terbatasnya waktu sejak penggalangan dukungan awal sebagai syarat pencalonan yang dibuktikan dengan pernyataan dukungan dan fotokopi KTP pendukung, pengambilan formulir pencalonan, penyerahan daftar dukungan dan verifikasi oleh PPS, PPK dan KPUD hingga penetapan sebagai peserta pemilu, menghadapkan calon perseorangan pada pilihan: memenuhi kuota minimal atau tidak, yang berarti lolos sebagai calon atau tidak dan memenangkan pertarungan atau menyerah kalah.
Mengumpulkan jumlah pendukung sebanyak 3%, 6% atau 6,5% dari jumlah penduduk (UU 12 tahun 2008) sebagai syarat pengajuan bakal calon pada saat yang sama harus tampil simpati agar dipilih rakyat, seringkali membuat calon independen melakukan langkah terobosan agar memperoleh hasil maksimal dalam waktu singkat. Ia cenderung mengajukan daftar pendukung melebihi jumlah yang dibutuhkan dengan pertimbangan bahwa setelah verifikasi KPUD masih tersisa angka signifikan, karena jika tidak maka ia tidak akan lolos.
Kedua, Ketatnya verifikasi KPUD (Peraturan KPU No. 15 tahun 2008) sejak verifikasi faktual PPS terhadap pendukung calon perseorangan (maksimal 14 hari), kroscek di PPK (antar kelurahan, maksimal 4 hari) dan KPUD (antar kecamatan, maksimal 3 hari) yang dibantu kroscek elektronik atas daftar pendukung, tidak mentolerir pendukung ganda. Seringkali, mereka yang namanya masuk daftar pendukung tidak selamanya memilihnya pada pemungutan suara.
Putusan MK tersebut tentu tidak langsung bisa dilaksanakan. Perlu peraturan lain dan perubahan pada peraturan sebelumnya (UU Nomor 32 Tahun 2004). Maka pemerintah (DPR dan presiden) mengeluarkan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Secara khusus, mengenai calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diatur dalam beberapa pasal undang-undang ini. Diantaranya adalah pasal 56 ayat (2), pasal 59, dan beberapa pasal lainnya.
Dalam pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa, pasangan calon kepala daerah, selain diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, juga perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Hal tersebut kembali ditegaskan dalam pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol atau pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Banyaknya dukungan yang diperlukan untuk mengusung pasangan calon independen diatur berdasarkan besarnya jumlah penduduk kabupaten/kota tempat dimana pilkada akan dilangsungkan. (Pasal 59 ayat (2b)). Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin sedikit persentase dukungan yang dibutuhkan.
Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 persen. Selanjutnya, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500,000 sampai dengan 1.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 persen. Sedangkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000. 000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 persen.
Dalam Pasal 59 ayat (2d) dinyatakan bahwa jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Seterusnya, undang-undang ini menegaskan bahwa dukungan dibuat atau dibuktikan dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2010 kota medan bakal menghelat sebuah pergelaran akbar demokrasi di tingkatan lokal dengan bergulirnya pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada Medan ini juga telah mengakomodir calon-calon dari perseorangan untuk maju dalam perebutan kursi kepemimpinan yang akan digelar pada tanggal 12 mei 2010 tersebut.
Kota Medan, yang memiliki penduduk 2.721.789 jiwa, maka seorang calon walikota yang akan maju melalui jalur independen harus membuktikan memiliki dukungan sebanyak 81.654 orang yang memiliki hak pilih. Artinya 3 persen dari jumlah penduduk Medan. Dukungan tersebut juga harus tersebar di lebih dari 12 kecamatan dari 21 kecamatan yang ada di kota ini.
Berikut ini adalah table nama-nama pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan tahun 2010 yang berasal dari partai politik/gabungan partai politik dan dari independen.
Nomor Urut
Pasangan    Nama Pasangan Calon Walikota dan Wakil walikota Medan 2010    Kendaraan Politik
1    Syahrial Anas-Yahya Sumardi    INDEPENDEN
2    Sigit Pramono Asri-Nurlisa Ginting    PARTAI POLITIK
3    Indra Sakti-Delyuzar nomor urut    INDEPENDEN
4    Bahdin Nur Tanjung-Kasim Siyo    INDEPENDEN
5    Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung    INDEPENDEN
¹    Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin    PARTAIPOLITIK
7    M Arif Nasution-Supratikno    INDEPENDEN
8    Maulana Pohan-M Arif    PARTAI POLITIK
9    Ajib Shah-Binsar Situmorang    PARTAI POLITIK
10    Sofyan Tan-Nelly    PARTAI POLITIK
Sumber : KPUD Medan 2010
Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai evaluasi dan strategi calon pemenangan calon independen dalam pilkada kota medan tahun 2010. Melihat kekuatan partai-partai yang ada sebagai kendaraan politik tentunya akan sangat memudahkan calon yang berasal dari partai ataupun yang diusung oleh partai dan gabungan beberapa partai politik untuk menjadi calon dalam pilkada. Partai politik tersebut tentunya sudah memiliki sistem politik yang berjalan dengan baik di mulai dari pencalonan sampai pada pemenangan calon yang diusung. Lalu bagaimana dari calon independen sendiri yang harus menyiapkan kendaraan politiknya untuk bergabung dan bersaing dengan calon dari partai politik?
Banyak tanggapan yang beragam tentang calon independen. Ada yang mendukung, ada juga yang tidak merespon dengan baik, dikarenakan calon independen harus berjuang dengan keras agar dapat mengikuti pemilihan kepala daerah melalui syarat-syarat yang telah ditentukan undang/undang.
Yang menjadi angin segar bagi calon independen adalah ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat lagi kepada partai politik, dikarenakan selama ini calon yang berasal dari partai yang telah duduk baik dilegeslatif, maupun kepala daerah tidak dapat berbuat banyak untuk rakyat, hanya janji tinggal janji. Disinilah celah yang dapat membuat semakin hangatnya Demokrasi di Republik Indonesia khususnya Kota Medan yang akan menyelenggaraka pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang mana  lima pasang dari calon tersebut berasal dari independen. Pilkada-pilkada sebelumnya yag dimenangkan oleh calon independen menambah bumbu yang menyemangati calon independen pilkada Kota Medan tahun 2010 ini. Berdasarkan pengalaman pilkada-pilkada sebelumnya, beberapa calon pasangan independen terpilih menjadi kepala daerah. Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) misalnya. Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar menang dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada 2006 yang lalu. Di Sumetera Utara sendiri, tepatnya Kabupaten Batubara, OK Arya Zulkarnain SH MM dan Gong Matua Siregar marak menjadi bupati dan wakil bupati melalui jalur independen.
Pada Pilkada Medan 2010 yang digelar pada tanggal 12 Mei 2010 serentak Berhasil Mengantarkan Pasangan Rahudman-Eldin sebagai Pasangan dengan tingkat pemilih tertinggi. Berikut Hasil Lengkap penghitungan suara dalam Pilkada Medan 2010 : Pasangan  Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memperoleh 150.671 suara (22,20 persen), Sofyan Tan-Nelly Armayanti 140.676 suara (20,72 persen), Sigit Pramono Asri-Nurlisa Ginting 97.295 (14,33 persen), H Ajib Shah-Binsar Situmorang 93.118 (13,72 persen), Maulana Pohan-Ahmad Arif 76.351 (11,25 persen). Kemudian Bahdin Nur Tanjung-Kasim Siyo 95.586 (5,24 persen), HM Arif Nasution-Supratikno 28.982 suara (4,27 persen), Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung 28.726 (4,23 persen), Syahrial R Anas-Yahya Sumardi memperoleh 18.661 suara (2,75 persen) dan Indra Sakti Harahap-Delyuzar 8.738 (1,29%). 
Dikarenakan Pilkada Medan 2010 tidak dapat menghasilkan pasangan yang memperoleh suara diatas 30%  sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, maka dilaksanakanlah putaran kedua pilkada medan 2010 dengan mengikutsetakan dua pasangan teratas yaitu pasangan Rahudman-Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Putaran kedua yang dilaksanakan pada tanggal 15 juni 2010 ini berhasil mengantarkan pasangan Rahudman-Eldin sebagai pemenang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan menetapkan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin sebagai pemenang Pilkada Medan putaran kedua dengan perolehan 485.446 suara (65,88%). Perolehan suara pasangan nomor 6 tersebut mengungguli pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti yang memperoleh 251.435 suara (34,12%). Total pemilih dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota Medan putaran kedua sebanyak 750.919 jiwa dari total daftar pemilih tetap (DPT) 1.961.155 jiwa.
Penelitian ini sendiri akan peneliti fokuskan kepada salah satu peserta yang telah terdaftar sebagai calon Walikota dan Wakil walikota dalam pemilukada Kota Medan tahun 2010. Yaitu pasangan M.Arif Nasution – Supratikno. Menarik disini adalah pasangan independen ini adalah pasangan dari kalangan akademis dan satu-satunya pasangan yang memiliki gelar akademis paling tinggi yaitu Profesor, yang disandang oleh Prof.Dr.H.M. Arif Nasution MA, yang juga selaku Dekan FISIP USU (periode 2005-2010) dimana beliau merupakan kepala tertinggi dari sebuah fakultas yang mempelajari tentang teori-teori sosial politik serta didukung oleh para akademis lainnya. Beliau yang berasal dari independen dimana notabenenya dalam hal pendanaan dirasa kurang tentunya mempunyai strategi-strategi politik tertentu khususnya dalam pembangunan jaringan untuk meghadapi dan memenangkan pemilihan umum kepala daerah Kota Medan tahun 2010, khususnya menghadapi pasangan yang mengendarai perahu partai politik. Walaupun dalam Pilkada Medan 2010 ini beliau belum berhasil keluar sebagai pemenang, namun menarik untuk kita lihat bagaimana strategi dan evaluasi dari pasangan independen ini dalam mengarungi percaturan politik kota Medan khusunya Pilkada Medan 2010. 
ditulis Oleh Suhendra

No comments:

Post a Comment