Friday 27 May 2016

Proposal Penelitiaan ANALISIS STRATEGI MANAJEMEN BENCANA BANJIR DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DI KOTA MEDAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
            Hampir seluruh negara di dunia mengalami masalah banjir, tidak terkecuali di negara-negara yang telah maju sekalipun.  Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang sebanyak 49% jumlah penduduk dan 75% properti terletak di dataran banjir yang luasnya 10% luas daratan; sedangkan sisanya 51% jumlah penduduk dan hanya 25% properti yang berada di luar dataran banjir yang luasnya 90% luas daratan ( Siswoko 2007).

            Wilayah bantaran sungai di  Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi perubahan pola cuaca dan iklim setempat yang menyebabkan pola dan debit air sungai tidak dapat di perhitungkan dan dapat dengan tiba-tiba meningkat dan mengakibatkan banjir. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan adanya kerusakan lingkungan di sekitar bantaran sungai. Seperti yang diketahui bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, dan dampak psikologis, yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia juga berada di dataran banjir (Tabel 1.1).




Tabel 1.1
Kota-Kota di Indonesia yang Berada di Dataran Banjir
NO
KOTA
SUNGAI
1
JAKARTA
Kamal, Tanjungan, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, Cakung
2
SEMARANG
Kali Garang/ Kali Semarang
3
SURABAYA
Kali Brantas
4
PALEMBANG
Sungai Musi
5
BANDUNG SELATAN
Sungai Citarum Hulu
6
PADANG
Batang Arau, Batang Kuranji, Batang Air Dingin
7
PEKAN BARU
Sungai Siak
8
JAMBI
Sungai Batanghari
9
MEDAN
Sungai Belawan, Deli, Babura, Kera
10
BANDA ACEH
Krueng Aceh
11
PONTIANAK
Sunagi Kapuas
12
BANJARMASIN
Sungai Barito
13
SAMARINDA
Sungai Mahakam
14
MAKASAR
Sungai Jeneberang
15
GORONTALO
Sugai Bone, Bolango
Sumber : Dirjen Pengairan (2010)

            Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dataran banjir juga mengandung potensi yang merugikan sehubungan dengan terdapatnya ancaman berupa genangan banjir  yang dapat menimbulkan kerusakan dan bencana. Seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu  ke waktu. Indikasi terjadinya peningkatan masalah yang disebabkan oleh banjir di Indonesia dapat diketahui dari peningkatan luas kawasan yang mengalami masalah banjir sejak Pelita I sampai sekarang.
            Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir  sampai saat ini dilakukan oleh Pemerintah, lewat berbagai proyek dengan lebih mengandalkan pada upaya-upaya yang bersifat struktur (structutal measures). Berbagai upaya tersebut pada umumnya masih kurang memadai bila dibandingkan laju peningkatan masalah. Masyarakat baik yang secara langsung menderita masalah maupun yang tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah masih kurang  berperan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana fisik pengendali banjir, maupun terhadap upaya-upaya non struktur. Hal ini didukung oleh kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung sentralistis dan top down, serta adanya berbagai kendala / keterbatasan yang ada di masyarakat sendiri antara lain menyangkut kondisi sosial, budaya dan ekonomi.
            Selama tahun 2009 telah terjadi banjir di daerah aliran sungai (DAS) Deli Medan yaitu pada 4 Januari 2009, mencapai 3 m, merendam 1.500 rumah di pinggiran sungai Deli; 15 Januari 2009, Sei Deli, mencapai ketinggian 2 m, akibat hujan deras yang melanda kota Medan seharian di tambah hujan dari hulu sungai menyebabkan warga yang tinggal di bantaran DAS harus mengungsi. Banjir terparah di kelurahan Aur, kelurahan Sei Mati ,kelurahan Kampung Baru, kelurahan Hamdan kecamatan Maimun. Sejumlah warga kelurahan Jati mengungsi untuk menghindari banjir; 300 kk rumahnya terendam; 5 Mei 2009, banjir kiriman dari dataran tinggi Tanah Karo mengakibatkan Sungai Deli di Medan meluap, yang menyebabkan ratusan rumah dan sebuah sekolah yang berada di bantaran sungai terendam air. Akibatnya sejumlah siswa batal mengikuti ujian. Kondisi terparah dialami warga yang bermukim di kecamatan Medan Maimun. Seperti yang terlihat di Gang Al-Fajar, Jln. Brigjen Katamso, kelurahan Sei Mati, ketinggian air mencapai sedada orang dewasa. Warga terpaksa mengungsi dan memindahkan sebagian perabotan rumah tangga ke badan jalan Brigjen Katamso Medan; 10 Mei 2009, ratusan rumah di pinggiran Sungai Deli terendam banjir ketinggian air mencapai 1.5 m. Banjir berasal ); 5 November 2009, 1.292 rumah terkena banjir akibat hujan deras yang menurut Camat Medan Maimun, Arfan Harahap ada lima kelurahan yang terendam banjir seperti kel, Sei Mati 596 kk, kel. Hamdan 338 kk, kel. Kampung Baru 11 kk, kel. Aur 275 kk dan kel. Sukaraja 65 kk (Waspada, 6 November 2009, hal 11). dari meluapnya Sungai Deli yang terjadi sejak minggu malam. Luapan air terjadi akibat kiriman air dari hulu Sungai Deli, yakni dari kecamatan Sibolangit, kiriman air dan curah hujan yang terjadi selama tiga jam (http://m.detik.com)
Sungai Deli adalah sungai yang bersejarah di Kota Medan yang mengalir membelah inti kota Medan. Sungai ini sering mengalami banjir dan melimpasi areal di sekitarnya. Bencana banjir tanggal 26 Nopember 1990 tercatat sebagai banjir yang terutama melimpasi daerah utara kota Medan (daerah utara Helvetia) dengan seluas 45 km 2 dan mengakibatkan korban jiwa. Sungai Percut yang melintasi di sekitar kota Medan juga mempunyai kondisi yang hampir sama. Banjir tanggal 23 Desember 1992 mengakibatkan melimpasnya air di daerah sekitar sungai dan daerah utara, dengan luas yang hampir sama dengan yang diakibatkan banjir sungai Deli. Limpasan air terjadi karena tidak cukupnya kapasitas volume penampang yang ada di pinggiran sungai-sungai tersebut.
Kejadian banjir di kota Medan yang hampir rata-rata 10-12 kali/tahun sangat dipengaruhi oleh kondisi DAS sungai Deli dan DAS Belawan di daerah hulu. Mencakup kabupaten Karo, kabupaten Deli Serdang dan kota Medan serta disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu :
1.      Banjir akibat kiriman dari daerah hulu
2.      Banjir di kota Medan sendiri akibat kondisi drainase kota yang sangat buruk (poor drainage).Bencana banjir di kota Medan sebagian besar terjadi di sepanjang sungai Deli.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dengan luas 481,62 km 2 berawal dari pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian 1.725 m di atas permukaan laut hingga pantai Selat Malaka. Sungai Deli dengan panjang 75,8 km mengalir melalui kota Medan yang berada di bagian hilir DAS Deli dengan ketinggian berkisar 0-40 m di atas permukaan laut. Sungai ini merupakan saluran utama yang mendukung drainase kota Medan dengan cakupan luas wilayah pelayanan sekitar 51% dari luas kota Medan.
Medan memiliki topografi miring ke utara dan berada pada ketinggian 0 - 40 m di atas permukaan laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai curah hujan di Tanah Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni Maksima Utama yang berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan Maksima Tambahan yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah hujan. Maksima Utama terjadi pada bulan Oktober s/d bulan Desember, sedangkan Maksima Tambahan terjadi antara bulan Januari s/d bulan September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 mm pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda berada di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkualitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata zaman itu bernama Deli Klei.
Perubahan paradigma penanganan bencana mulai bergeser ke arah pengurangan risiko bencana yaitu kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politis, dan menganalisis risiko bencana, ancaman, kerentanan, dan kemampuan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi risiko, dan juga mengurangi terjadinya bencana. Kegiatannya dilakukan bersama oleh semua para pihak (stakeholder) dengan pemberdayaan masyrakat.

1.2. Perumusan Masalah
            Dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan yaitu:
1.      Bagaimana strategi Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan ?
2.      Bagaimana Efektifitas Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan ?

1.3. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui strategi Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan.
2.      Untuk mengetahui Efektifitas Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan ?

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi peneliti, pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pemerintah daerah khususnya pada isu-isu kemiskinan dan penanggulangannya.
a.       Bagi peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan khususnya dalam penelitian, sehingga mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapi.
b.      Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam konteks isu-isu kemiskinan dan pembangunan masyarakat.
c.       Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terkait penyebab, dampak dan bagaimana cara penaggulangan kemiskinan.
d.      Bagi pemerintah Daerah. diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi  bagi stakeholder untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana dan menjadi bahan  masukan bagi stakeholder penanggulangan bencana Provinsi Sumatera Utara untuk penyempurnaan penanggulangan bencana.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

4.1.  Bencana
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun faktor non-alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Carter (2001) dalam Kodoatie dan Sjarief (2006) yang dikutip oleh Purnomo dan Sugiantoro (2010) mendefenisikan bencana sebagai suatu kejadian alam atau buatan manusia, yang datang secara tiba-tiba yang menimbulkan dampak yang dahsyat, sehingga masyarakat yang terkena harus merespon dengan tindakan-tindakan yang luar biasa.
Menurut United Nation Development Program (UNDP) dalam Ramli (2010), bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mengklasifakasikan bencana ke dalam tiga jenis, yaitu:
2.1.      Bencana Alam : Merupakan bencana yang besumber dari fenomena alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, pemanasan global, topan dan tsunami.
2.2.      Bencana Non-Alam : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam antara lain; gagal teknologi, epidemik, dan wabah penyakit.
2.3.      Bencana Sosial : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti; konflik sosial, dan aksi teror.

2.1.1.  Manajemen Bencana.
Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban jiwa dan kerugian yang ditimbulkannya (Ramli, 2010: 10).
Manajemen bencana pada dasarnya merupakan konsep penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Menurut Ramli (2010) ada empat tujuan manajemen bencana, yaitu:
1)      Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
2)      Menekan kerugian dan angka korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana.
3)      Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi terhadap bencana sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana.
4)      Melindungi anggota masyarakat dari ancaman, bahaya atau dampak bencana.

Manajemen bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau daerah, dan tingkat nasional atau korporat. Untuk tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau unit disebut manajemen darurat (emergency management), dan pada tingkat nasional disebut manajemen krisis (crisis management).
1)      Manajemen insiden (incident management) : Yaitu penanggulangan bencana di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis.
2)      Manajemen darurat (emergency management) : Yaitu penanggulangan bencana di daerah yang mengkordinir lokasi kejadian. Tingkatan ini meliputi strategi dan taktis.
3)      Manajemen krisis (crisis management) : Manajemen krisis berada pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat nasional. Tingkatan ini lebih bersifat strategis dan penentuan kebijakan.

Tahapan bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman. Tahapan tersebut pada dasarnya adalah satu kesatuan sistem dalam upaya penanggulangan bencana. Berikut tahapan manajemen bencana tersebut :
1) Pra bencana.
a)      Kesiagaan : Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan merupakan tahapan yang paling strategis, karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam manghadapi datangnya suatu bencana.
b)      Peringatan dini : Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat akan bencana yang akan terjadi. Peringatan yang diberikan didasarkan pada berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah, atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkingan akan terjadinya suatu bencana.
c)      Mitigasi : Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu bencana (Ramli, 2010).
Pendekatan-pendekatan dalam mitigasi bencana.
a. Pendekatan teknis.
1)      Membuat rancangan bangunan yang kokoh.
2)      Membuat material yang tahan terhadap bencana. Contoh: material tahan api.
3)      Membuat rancangan teknis pengaman. Contoh: tanggul.
b.      Pendekatan manusia.
Pendekatan ini ditujukan untuk membentuk karakter manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana. oleh karenanya hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya.
c. Pendekatan administratif.
1)      Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana.
2)      Sistem prizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana.
3)      Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko tinggi.
4)      Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun industri bersiko tinggi.
d. Pendekatan kultural.
Pendekatan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai bencana dan bahaya yang ditimbulkannya. Penyadaran disesuaikan dengan kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang telah membudaya sejak lama (Ibid).
2) Saat terjadi bencana (tanggap darurat).
Tangggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi proses pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuha n dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana.
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 disebutkan proses penyelengaraan bencana pada saat tanggap darurat sebagai berikut:
a)      Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap loksi, kerusakan, dan sumber daya.
b)      Penentuan status keadaan darurat bencana.
c)      Penyelamatan dan evakuasi.
d)     Pemenuhan kebutuhan dasar.
e)      Perlindungan terhadap kelompok rentan.
f)       Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

3) Pasca bencana.
a)      Rehabilitasi : Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
b)      Rekontruksi: Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan di wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat (Ramli, 2010).

2.1.2        Bencana Banjir
         Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran. Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat di sebut sebagai genangan air yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh : (1) Perubahan tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS); (2) Pembuangan sampah; (3) Erosi dan sedimentasi; (4) Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase; (5) Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; (6) Curah hujan yang tinggi; (7) Pengaruh fisiografi/geofisik sungai; (8) Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai; (9) Pengaruh air pasang; (10) Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang surut air laut); (11) Drainase lahan; (12) Bendung dan bangunan air; dan (13) Kerusakan bangunan pengendali banjir. (Kodoatie, 2002).
Banjir adalah keadaan dimana suatu daerah tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh tersumbatnya sungai maupun karena penggundulan hutan di sepanjang aliran sungai (Ramli, 2010: 98).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.
2.1.3        Faktor-faktor Penyebab Banjir.
Berikut beberapa faktor penyebab banjir menurut Ramli (2010):
a.             Curah hujan tinggi.
b.            Permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.
c.             Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit atau terbatas.
d.            Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran (bantaran) sepanjang sungai.
e.             Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan dipinggir sungai.
f.             Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

Kodoatie (2002) menjelaskan faktor-faktor penyebab banjir karena tindakan manusia sebagai berikut:
a.       Perubahan kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS).
b.      Kawasan kumuh.
c.       Sampah.
d.      Drainase lahan.
e.       Kerusakan bangunan pengendali banjir.
f.       Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.




2.1.4        Penanggulangan Banjir.
Maryono (2005) menjelaskan langkah-langkah pokok dalam menyusun pedoman atau kerangka acuan untuk pembuatan masterplan atau program penanganan banjir. Langkah-langkah tersebut yaitu:
a.       Pemetaan dan analisis perubahan tata guna lahan di DAS. Hasil dari langkah ini adalah berupa peta tata guna lahan di DAS perubahannya, serta kaitannya dengan kejadian-kejadian banjir.
b.      Pemetaan dan analisis wilayah sungai, sempadan sungai, dan alur sungai, baik sungai besar di hilir maupun sungai kecil di bagian hulu. Dari pemetaan di sepanjang sungai ini selanjutnya dapat di analisis dengan cermat karakter sungai bersangkutan serta kaitannya dengan potensi banjir, baik banjir biasa maupun banjir banding.
c.       Pemetaan komponen ekologi retensi alamiah sempadan sungai dan kondisi fisik hidraulik di sepanjang sempadan sungai. Hasil dari pemetaan ini dapat digunakan untuk menganalisis kemungkinan peningkatan retensi sepanjang alur sungai.
d.      Pemetaan dan analisis saluran drainase yang masuk ke sungai. Dari hasil pemetaan ini dapat ditetapkan alur-alur drainase yang perlu diperbaiki.
e.       Pemetaan dan pendataan kondisi daerah pedesaan dan daerah semi urban bagian hulu dan tengah. Langkah ini labih baik dilaksanakan besama masyarakat, sehingga tujuan penanganan banjir dapat tercapai, dan masyarakat mendapatkan pembelajaran dai itu.
f.       Pemetaan sistem makro dan mikro wilayah keairan (sungai, danau, pantai, dan lain-lain) yang dilanda banjir. Hasil kegiatan ini adalah dapat ditemukan secara pasti penyebab banjir pada skala mikro dan makro wilayah tersebut. Hasil pemetaan ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan mengenai penanggulangan banajir.
g.      Pemetaan budaya masyarakat dan kaitannya dengan penanggulangan banjir.
Selain langkah-langkah di atas, terdapat langkah-langkah penanggulangan banjir lainnya yang terkait langsung dengan sungai, yaitu:
1)      Reboisasi dan konservasi hutan di sepanjang DAS dari hulu ke hilir.
2)      Penataan tata guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi air di DAS.
3)      Tidak melakukan pelurusan sungai.
4)      Mempertahankan bentuk sungai yang berliku-liku, karena akan mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi.
5)      Memanfaatkan daerah genangan air di sepanjang sempadan sungai dari hulu ke hilir.
6)      Mengubah sistem drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepat-cepatnya ke hilir menjadi sistem yang alamiah (lambat), sehingga waktu konservasi air cukup memadai dan tidak menimbulkan banjir di hilir.
7)      Melakukan relokasi pemukiman yang berada di DAS atau bantaran sungai.
8)      Melakukan pendekatan sosio-hidraulik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara terus menerus untuk terlibat dalam penanggulangan banjir.

Beberapa tindakan penanggulangan banjir menurut Ramli (2010):
a.       Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai dengan fungsi lahan.
b.      Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir.
c.       Tidak membangun rumah atau pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.
d.      Mengadakan program pengerukan sampah di sungai.
e.       Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.

2.2 Kebijakan publik
Konsep atau definisi kebijakan publik banyak sekali terdapat dalam berbagai literatur. Untuk keperluan penelitian ini penulis akan mencoba menyebutkan beberapa batasan konsep mengenai kebijakan publik. Dye (1997:1) mengatakan  bahwa kebijakan publik adalah apapun pilihan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Konsep ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat perbedaan antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah (Winarno,1989:2).
Sedangkan Easton,(dalam Dye,1997:1) mendefinisikan kebijakan publik sebagai alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat, akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut. Sejalan dengan itu Lasswell dan Kaplan (dalam Dye,1997:1) telah menyarankan bahwa kebijakan publik sebagai program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika. Definisi ini menyiratkan suatu perbedaan antara tindakan pemerintah yang spesifik dan keseluruhan tindakan dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Bagaimanapun suatu masalah yang memerlukan tindakan tegas pemerintah, harus mempunyai tujuan (goals) agar bisa dikatakan sebagai " kebijakan", tetapi kita tidak pernah bisa memastikan ada atau tidaknya tindakan tertentu  mempunyai suatu tujuan (goals) (Dye,1997:1-2).
Menurut Peters (1982:4-5) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah, baik pelaksanaannya dilakukan secara langsung ataupun melalui wakil/agen, yang mana aktivitas tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga negara, dari definisi ini Peters membagi kebijakan menjadi tiga tingkatan kebijakan, dimana menggambarkan derajat/tingkat dari kebijakan yang membuat perubahan riil di dalam kehidupan warganegara.
Di tingkatan yang pertama, yaitu pilihan kebijakan (policy choices). Keputusan  dibuat oleh politikus, pegawai negeri sipil ataupun orang lain dan mengarah kepada penggunaan kekuasaan publik untuk mempengaruhi kehidupan  warganegara. Di tingkatan yang kedua, adalah output kebijakan (policy outputs). Pilihan kebijakan diteruskan menjadi tindakan. Pada tingkatan ini pemerintah melakukan hal antara lain : membelanjakan uang (spending money), merekrut ataupun menggunakan orang-orang, memberlakukan peraturan tertentu yang akan mempengaruhi perekonomian dan masyarakat. Pada akhirnya, di tingkatan yang ketiga, yaitu dampak kebijakan (policy impacts). Efek dari pilihan kebijakan dan outcome kebijakan bagi warganegara, ada di dalam suatu kebijakan yang relatif sempit. Contohnya adalah pilihan kebijakan di bidang perpajakan yang di buat oleh pemerintah. Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan menghasilkan suatu dampak kebijakan yang mengambil lebih dari orang-orang kaya dibanding dari orang-orang yang lemah/miskin.
Dari keseluruhan definisi mengenai kebijakan publik terlihat bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dan pejabat-pejabat pemerintah, aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah juga mempengaruhi perkembangan kebijakan. Ciri-ciri khusus dari kebijakan publik berasal dari kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh penguasa dalam suatu sistem politik tertentu. Winarno (1989:3-4) menyatakan sehingga dapat dikatakan bahwa alternatif kebijakan publik dalam penanggulangan kemiskinan berkaitan erat dengan proses tahapan, aktor-aktor yang terlibat baik pada saat pembuatan kebijakan maupun pada saat implementasi kebijakan, dan dasar keterlibatan sebagai asas legalitas formal.
2.2 Teori Pembangunan Sosial
Definisi pembangunan sosial menurut Midgley (2005:37), adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Mengapa direncanakan? Hal ini karena diinginkan adanya perubahan manusia dan kesejahteraan.
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu:
1)      Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi. Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan dengan pendekatan lain dalam mengangkat kesejahteraan orang banyak. Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.  
2)      Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu (interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi.  Pembangunan sosial juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat.
3)      Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal, pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial telah tercapai.
4)      Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial sangat dibutuhkan dalam pembangunan sosial.
5)      Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai tujuan pembangunan sosial.
6)      Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
7)      Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat. Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita). Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah (spasial) seperti dalam kota, masyarakat pedesaan, perkotaan, daerah-daerah atau negara.
8)      Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial menurut Midgley disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya kesempatan sosial (2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (2005:19).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama. Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community development. Meminjam asumsi Todaro (M. P. Todaro, 2006), ada tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :Pertama, meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa. Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.
Pembangunan, dengan demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional. (Prayitno, 2009). Lebih lanjut Moeljarto dalam Prayitno (2009) berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya pembangunan sosial itu memiliki tiga kategori makna (Moeljarto T., 37-40), yaitu (1) pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, (2) pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi, dan (3) pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. Beragamnya tujuan dan makna pembangunan sosial, maka dalam pertemuan ahli dari UNCRD di Nagoya menerima definisi lengkap sebagai :
"Pembangunan Sosial tidak hanya diukur melalui peningkatan akses pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan sosial yang lebih kompleks dan kadang-kadang beragam seperti persamaan, 'keadilan sosial', promosi budaya, dan ketentraman batin, juga peningkatan kemampuan manusia untuk bertindak, sehingga potensi kreatif mereka dapat dikeluarkan dan membentuk perkembangan sosial" (Moeljarto T., 40).
Kemudian dalam kaitannya dengan strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf  hidup masyarakat, Midgley (2005:149-201) mengemukakan ada tiga strategi besar, yaitu:
1.  Pembangunan  Sosial oleh Individu, di mana kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dapat diangkat ketika para individu berusaha untuk mengangkat kesejahteraan mereka masing-masing. Pendekatannya lebih mengarah pada pendekatan individualis dan pendekatan enterprise (usaha).
2.   Pembangunan Sosial oleh Masyarakat, di mana masyarakat saling bekerja sama secara harmonis serta memiliki tujuan yang sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, memecahkan permasalahan mereka dan berusaha menciptakan kesempatan guna memperbaiki hidup. Pendekatannya lebih dikenal dengan nama pendekatan kemasyarakatan.
3.    pembangunan Sosial oleh Pemerintah, di mana pembangunan sosial dilakukan oleh pemerintah, dengan agen-agennya yang khusus, pembuatan kebijakan, para perencana dan administraturnya. Negara mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan memiliki tanggung jawab mengangkat kesejahteraan seluruh warganegaranya. Pendekatannya lebih dikenal dengan nama pendekatan statist / negara.
Berkaitan dengan kondisi Indonesia yang kompleks, ternyata tidak dapat dipilih satu dari tiga strategi tersebut, tetapi ketiga strategi tersebut perlu terus dilaksanakan. Artinya, ketika pemerintah melakukan pembangunan sosial, maka peran-peran dari swasta dan sektor ketiga (masyarakat madani) terus ditumbuhkan. Sehingga, tidak terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan pembangunan sosial. Masing-masing pihak terus menunjukkan kiprahnya. Bahkan, bisa melakukan sinergi untuk mempercepat proses pembangunan sosial. Jika swasta dan sektor lain mampu memberikan kontribusi pada Negara, maka diharapkan akan dapat mengurangi beban pemerintah. Sehingga, pemerintah bisa mengalokasikannya untuk program strategis lainnya (Prayitno, 2009).
2.3 Perubahan Sosial
Setiap kehidupan manusia akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas.
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau di pengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena ada anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama dan menganggap sudah tidak puas lagi atau tidak memadai untuk memenuhi kehidupan yang baru.
Menurut Gillin dan Gillin (Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada  lembaga-lembaga  kemasyarakatan  didalam  suatu  masyarakat,  yang memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku  antara  kelompok-kelompok  dalam  masyarakat.  (Soerjono Soekanto,2007:263).
Soerjono Soekanto (2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara lain:
a.       Perubahan sosial terjadi secara terus menerus
b.      Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya
c.       Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri
d.      Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis)
Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal).
1.  Faktor internal
Perubahan sosial dapat disebakan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain:
1.         Perkembangan ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan  menyebar  kemasyarakat,  dikenal,  diakui,  dan selanjutnya diterima serta menimbulkan perubahan sosial.
2.         Kependudukan, faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk.
3.         Penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu yang baru baik berupa ide maupun benda. Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain.
4.         Konflik dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara indvidu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan kepentingan.
2.  Faktor eksternal
Perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu sendiri seperti:
1.         Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap muka) antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling berpengaruh. Disamping itu, pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat dengan media-media massa.
2.         Peperangan, Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan berakibat munculnya perubahan-perubahan pada suku atau negara yang kalah. Pada umumnya mereka akan memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun kebudayaan yang dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan.
3.         Perubahan dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,terjadinya gempa bumi, topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah- daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan kemungkinan masih bertahan di daerahnya tersebut. Hal tersebut akan mengakibatkan  terjadinya  perubahan-perubahan  pada  lembaga kemasyarakatanya karena masyarakatnya harus memulai kehidupan baru kembali. Sebab yang bersuber dari lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan para warga masyarakat itu sendiri.
Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Bencana Hardesty (1977) mengemukakan tentang adaptasi bahwa: “adaptation is the process through which benefi cial relationships are established and maintained between an organism and its environment”, maksudnya, adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling menguntungkan antara organisme dan lingkungannya. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975;
Harris, 1968; Moran, 1982) mendefi nisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem merupakan keseluruhan situasi, di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi.
Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi atau masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia terus dan selalu berubah. Smit dkk., (1999) dalam kajiannya mengenai perubahan iklim, mengartikan adaptasi sebagai penyesuaian di dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi sebagai respon terhadap kondisi ikilm dan dampaknya.
Smit dan Wandel (2006) juga menyatakan bahwa adaptasi manusia dalam perubahan global merupakan proses dan hasil dari sebuah sistem, untuk mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko, dan kesempatan. Dalam perubahan iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu sebagai bagian dari penilaian dampak dengan kata kunci yaitu (1) adapatasi yang dilakukan, dan (2) respon kebijakan dengan kata kunci rekomendasi adaptasi. Kerangka dalam mendefi niskan adaptasi adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan.
2.4  Pola Adaptasi Sosial
Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55).
Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50).
Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:
1.      Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).
2.      Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah).
3.      Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
a.       Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b.      Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
c.       Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
d.      Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
e.       Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
f.       Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya:
a.       Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b.      Menyalurkan ketegangan sosial.
c.       Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.
d.      Bertahan hidup.
Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada.
Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisio-organik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal.
Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi. Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. (Alimandan, 1995:56).
Stategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
1.      Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam.
2.      Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakan-kerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam.
3.      Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana alam. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana alam.
2.5    Konsep Pemberdayaan
Menurut Kartasasmita (1996), berdasarkan maknanya, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kekuatan yang berasal dari ‘dalam’ yang dapat diperkuat dengan unsur-unsur dari ‘luar’. Sejalan dengan itu, Payne (dalam Kartassasmita 1996) mengatakan bahwa pemberdayaan pada intinya ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang ia dilakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Lebih lanjut Payne mengatakan bahwa “hal itu dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh Kartasasmita dan Payne tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan (diintervensi). Artinya, pemberdayaan merupakan suatu aksi (action) yang ditujukan pada orang, kelompok, komunitas, masyarakat yang tidak berdaya hingga menjadi berdaya atau memandirikan masyarakat.
Konsep tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soetomo (2006) yang menyebutkan bahwa dengan pemberdayaan diharapkan akan dapat meningkatkan akses kelompok miskin dalam proses pengambilan keputusan, akses terhadap fasilitas dan pelayanan, akses terhadap bantuan hukum, meningkatkan posisi tawar (bargaining position), serta mengurangi peluang terjadinya eksploitasi oleh kelompok lain.
Pemberdayaan menurut Adi (2003), merupakan proses yang berkesinam-bungan sepanjang hidup seseorang (on-going process). Ini menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan harus benar-benar dirancang sebagai proses yang berkelanjutan, bukan program pemberdayaan yang hanya sebagai “proyek” yang temporer sifatnya. Artinya, program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai stakeholders (pemerintah dan non pemerintah) tidak berakhir dengan selesainya suatu program. Proses pemberdayaan hendaknya harus berlangsung selamanya, meskipun pada awalnya harus ada intervensi dari luar, namun harus tercipta suatu keadaan dimana komunitas tersebut mampu secara mandiri menjalankan proses pemberdayaan tersebut bagi komunitas mereka.
Pemberdayaan (empowering) sebagai suatu upaya untuk mereduksi kemiskinan yang dialami oleh suatu komunitas menurut Kartasasmita (1996) dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu: 1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) dengan memper-kenalkan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi (budaya) untuk berkembang; 2) Memperkuat posisi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menyediakan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya dalam memanfaatkan peluang; 3) Melindungi masyarakat yang lemah dalam proses pemberdayaan agar tidak menjadi semakin lemah oleh kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.
Proses pembangunan saat ini perlu memahami dan memperhatikan prinsip pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia. Pembangunan yang dilakukan harus memuat proses pemberdayaan masyarakat yang mengandung makna dinamis untuk mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan.
Konsep yang sering dimunculkan dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian di mana program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.
Kemandirian dan kesejahteraan tentu tak boleh hanya tegak di satu aspek. Masyarakat  harus diberdayakan dengan berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, budaya, sosial, pendidikan dan bahkan kesehatan. Berbagai kegiatan sudah menjurus pada pemberdayaan perempuan yang baik, tetapi seringkali, pemahaman kita pada ‘kesejahteraan’ hanya sekedar masalah ekonomi dan status sosial. Padahal, sejahtera bermakna luas dan mencakup aspek kehidupan yang menyeluruh. (Aliyah, 2012)
Pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisir yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Konsep pemberdayaan dapat dikatakan merupakan jawaban atas realitas ketidakberdayaan (disempowerment). Prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan harus menjadi komitmen bagi pelaksana pembangunan. Idealnya pemerintah dapat menjadi fasilitator yang bertugas memberi pelayanan, sedangkan dari pihak masyarakat berperan sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan yang saat ini harus dilayani dan ditumbuhkan prakarsa serta partisipasinya.
Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu diperhatikan. Untuk itu masyarakat perlu memiliki beberapa jenis daya yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka sendiri, antara lain:
1.      Power terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik.
2.      Power terhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan  kebutuhannya sendiri.
3.      Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik.
4.      Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.
5.      Power terhadap sumber daya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi.
6.      Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi (Ife, 1995).







BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.  Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Nazir (1988:63) menyatakan selain itu pertimbangan lainnya adalah dengan mengingat luasnya cakupan penelitian yang dilakukan, sehingga diharapkan mampu menggiring peneliti dekat dengan subjek-subjeknya dan sensitif terhadap konteks. Selain itu desain penelitian ini diharapkan memberikan kemungkinan informasi yang lebih luas untuk mendeskripsikan realitas yang ada (Brannen,2002:90).
Lebih lanjut sebagaimana dikemukakan oleh Cassell dan Symon (1994:4-6), ada beberapa karateristik penting dalam jenis penelitian kualitatif yaitu: (1) mempertimbangkan apa yang dianggap bisa dipahami untuk mengurangi quantifiable term; (2) kurang begitu memberikan penekanan pada pembatasan apriori classification; (3) memberikan fleksibelitas dalam penelitian; (4) cukup sensitif untuk memberikan analisis yang terperinci terhadap sebuah perubahan; (5) bisa berlangsung hanya pada natural setting, sehingga bisa memberikan pandangan secara holistik terhadap situasi atau organisasi yang diamati; (6) fokus studi adalah pemahaman terhadap life-word dari individu, serta; (7) peneliti harus bertindak proaktif dalam mendefinisikan persoalan-persoalan penting dalam hubungan dengan penelitian.

3.2.Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Medan dengan mengambil lokus penelitian pada Kelurahan yang terletak di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Deli. Adapun yang paling parah mterkena dampak banjir setiap tahun adalah Kelurahan Aur di Kecamatan medan Maimun.


3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap proses penelitian, pengumpulan data bertujuan untuk mengungkapkan fakta mengenai perihal yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode yang dijadikan acuan untuk mengumpulkan data, yaitu sebagai berikut:
1.        Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dan mendalam. Dimana peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan fokus masalah di dalam tesis ini Dalam teknik pengumpulan data ini guna memperoleh data maka percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan, dengan narasumber yang merupakan orang yang dianggap peneliti adalah merupakan representative mewakili organisasi, agama, pekerjaan, kondisi ekonomi dan jenis kelamin.
2.        Studi Pustaka (Library Research). Selain melakukan wawancara peneliti juga melakukan teknik pengumpulan data melalui pengumpulan studi pustaka, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang berdasarkan bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan penelitian.Dengan membaca sumber-sumber literatur yang ada kaitannya dengan masalah penelitian ini.berupa buku-buku, jurnal, artikel, majalah, surat-kabar, opini,  dan informasi tertulis lainnya.
3.4   Sumber Data
1.      Data Primer
Data primer  adalah data yang diperoleh di lapangan atau di daerah penelitian. Data primer merupakan data yang belum diolah atau data mentah berupa wawancara dan data ini diperoleh melalui tekhnik wawancara langsung. Adapun data primer pada penelitian ini, yakni:
2.      Data sekunder
Data sekunder adalah Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara membaca buku, literatur-literatur, jurnal, koran dan berbagai informasi lainya yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data penunjang guna melengkapi data primer.
3.5   Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitiannya. Oleh Karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel (Bagong Suyanto, 2005:171). Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat, dan terpercaya baik berupa pernyataan, keterangan atau data-data yang dapat membantu dalam memahami persoalan atau permasalahan tersebut.
Informan penelitian ini adalah seluruh pemangku kepentingan dalam nitigasi banjir dan masyarakat yang menjadi korban. Adapun rencana Infroman yang akan diwawncari adalah sebagai berikut :
1.      Pemerintahan Kota Medan melalui Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA)
2.      Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Medan
3.      Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan
4.      Akademisi
5.      Korban banjir sebanyak 5 orang (bila dibutuhkan akan dapat di tambah sesuai dengan kebutuhan data)

3.6  Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, meskipun data yang dipergunakan ada yang bersifat kuantitatif. Data yang dihimpun baik berupa data primer maupun sekunder selanjutnya disusun, dianalisis dan diinterpretasikan untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan logis sebagai hasil penelitian. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik analisis data adalah sebagai berikut :
a.             Melakukan penilaian dan analisis data dengan menggunakan prinsip validitas.
b.            Melakukan pengkajian terhadap data yang diperoleh.
c.             Melakukan pemetaan terhadap fenomena yang diperoleh.
d.            Membuat alternatif kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan masyarakat pada kedua unit analisis serta menentukan kriteria-kriteria dasar untuk menilai kebijakan.
e.             Mengevaluasi alternatif-alternatif kebijakan yang telah disusun dan dibuat suatu rekomendasi alternatif kebijakan yang terpilih.



DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas : Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.Agustino Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Brannen, Julia, diterjemahkan oleh Nuktah Arfawie Kurde dkk, 2002, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, , Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cassel, Chaterine, dan Gillian Symon, (ed), 1994, Qualitative Methode in Organization Research, A Pratical Guide, Sage Publications, Singapore.
Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan Banjir Tahun 2007-2008. Jakarta.
Bappenas. 2007. Peluncuran Buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana Tahun 2006-2009. Jakarta.
Carter, W. Nick. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Manila: ADB
CSO – NAD. 2007. Laporan Kajian Strategis Program Civil Society Organization (CSO). Jakarta.
Dekens, Julie. 2007. Pengetahuan Lokal tentang Kesiapsiagaan dalam menghadapi Banjir: Contoh-contoh dari Nepal dan Pakistan. Jakarta.
Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Control Manual, 2010.
Dye, Thomas R., 1972, Understanding Public Policy, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey
Edi, Suharto, 2009, Kemiskinan dan Perlindungan sosial di Indonesia, Alfabeta, Bandung
ICIMOD, 2007. The Snake and the River Don’t Run Straight. Local Knowledge on Disaster Preparedness in the Eastern Terai of Nepal and Herders of Chitral. Local knowledge on Disaster Preparedness in Chitral District, Pakistan.
Ife, J. 1995, Community Development: Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Arah Pembangunan Ekonomi Dalam Pelita VI, Universitas Brawijaya. Fakultas Ilmu Administrasi, Malang
Khaira Nuswatul, 2010, Pengaruh Pengetahuan, Sikap Dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Banjir Di Desa Pelita Sagoup Jaya Kecamatan Indra Makmu Kabupaten Aceh Timur.
Kodoatie, Robert J dan Sugiyanto. 2002. Banjir, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Kodoatie, Robert dan Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu: Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Yusuf Watampone Press. Jakarta
---------------------------------------. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi.Yogyakarta
Kolopaking, Lala M. 2008. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Seminar Nasional Kesiapsiagan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pusat Studi Bencana IPB. Bogor
LIPI – UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Ma’mun. 2007. Mengurai Ancaman Banjir Jakarta. Pustaka Cerdasindo, Jakarta
Maryono, Agus. 2005. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai, Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai. Yogyakarta. Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana UGM.
Midgley,james. (2005). Pembangunan Sosial, perspektif pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta : Ditperta Islam
Misra. 2007. Antisipasi Rumah di Daerah Rawan Banjir. Griya Kreasi, Jakarta.
Nazir, Moh, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Pemko Medan. 2003. Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Medan.
Peters, B. Guy, 1982, American Public Policy, Franklin Watts, New York
Prayitno, H dan B. Santosa. 2009. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia,Jakarta.
Purnomo, Hadi dan Ronny Sugiantoro. 2010. Manajemen Bencana, Respon dan Tindakan Terhadap Bencana. Yogyakarta. Media Pressindo
Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta. Dian Rakyat.
Siswoko (2007). “Banjir, Masalah banjir dan Upaya Mengatasinya”. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Peringatan Hari Air Dunia ke -15 Tahun 2007; “Mengatasi Kelangkaan Air dan Menangani Banjir Secara Terpadu.”
Soetomo, 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanto. 2006. Disaster Manajemen di Negeri Rawan Bencana. Cetakan Pertama, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta.
Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.
Syamsul, Ma’arif. 2007/2008. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir. Jakarta.
Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta
Twigg John. 2007. Karakteristik Masyarakat Tahan Bencana. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group
Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, PAU-Studi Sosial UGM, Yogyakarta

Sumber lainnya :
Aliyah, Fara Julyta,  2012, Program Pemberdayaan Perempuan : Sudahkah berjaya?http://www.ccde.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=567:program-pemberdayaan-perempuan--sudahkah- berjaya& catid=2:sorotan &Itemid=3
Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta
UNDP-Indonesia. 2007. Kerangka Kerja Pengurangan Risiko Bencana, Rencana Aksi Provinsi Nangroe Aceh Darusalam. Jakarta.


No comments:

Post a Comment