1.
Analisis
Pencabutan Perda Bermasalah oleh Presiden Jokowi.
Dalam Konferensi Nasional Forum
Rektor Indonesia 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, Presiden Jokowi
memerintahkan Kementrian Dalam Negeri untuk mencabut Perda yang dianggap
bermasalah. Menurut Presiden, kementerian
berkewenangan untuk mencabut seluruh perda bermasalah tersebut tanpa kajian
yang dapat memakan waktu. Sebagaimana kita ketahui bahwa Peraturan Daerah
merupakan salah satu bentuk aplikasi Otonomi Daerah yaang merupakan amanah
undnag-undang.
Lahirnya otonomi daerah sebenarnya
diharapkan mengurangi sistem pemerintahan yang terlalu terpusat. Inti yang
terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan
pemerintah daerah (discretionery power) untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran-serta aktif masyarakat dalam
rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak
hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong
oto-aktivitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan
demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri
melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan juga dan terutama memperbaiki
nasibnya sendiri. Hal itu hanya mungkin terjadi, apabila pemerintah pusat
mempunyai kesadaran dan keberanian politik, serta kemauan politik yang kuat untuk
memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur
dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan
potensi daerahnya. Kewenangan artinya keleluasan untuk menggunakan dana, baik
yang berasal dari daerah maupun dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya
tanpa campur tangan pusat, keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensial
yang ada didaerahnya serta menggunakannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan
daerahnya.
Istilah ”Perda bermasalah”, seperti
pula ”otonomi kebablasan” atau ”desentralisasi korupsi”, mulai sering muncul
sebagai wacana publik sepanjang berlakunya otonomi daerah. Selama ini, istilah
”Perda bermasalah” menunjuk pada cara pandang, tepatnya anggapan tentang
masalah dan pihak yang disalahkan, yaitu ada kebijakan yang dinilai melanggar
asas kepentingan umum atau aturan lebih tinggi, dengan Pemerintah Daerah
sebagai pihak yang bertanggung jawab (merujuk UU No 32/2004). Perda dikatakan
bertentangan dengan kepentingan umum apabila pemberlakuan Perda tersebut
berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, pelayanan umum, dan
ketentraman/ketertiban umum. Bisa pula karena kebijakan yang tertuang
didalamnya bersifat diskriminatif. Jadi, dapat diyakini, apabila dipaksakan
pemberlakuannya maka akan menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagai contoh,
banyak pengusaha dan warga masyarakat yang merasa keberatan dengan adanya
pungutan ganda dalam perizinan. Pungutan ganda mengakibatkan disinsentif
ekonomi yang dapat merusak pola perdagangan, inventasi dan produk yang
konsekuensinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (higt cosh economy). Perda yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah Perda
yang baik prosedur pembentukan dan atau isinya bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah dan peraturan perundang-undangan lain yang dalam tata urutan
perundangan berada di atas Perda.
Pengawasan yang terlalu ketat
dilakukan Pemerintah Pusat tentunya dapat mengurangi kebebasan dalam konteks
pelaksanaan otonomi. Pemerintah Daerah akan merasa terbelenggu dan terbatasinya
ruang kerja desentralisasi untuk bekerja secara optimal memberdayakan para
pemangku kepentingan di daerah dalam mengelola potensi melayani dan memenuhi
kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi yang lain, bila pengawasan tidak
dilakukan secara tepat dan proporsional oleh Pemerintah Pusat, daerah dapat
untuk bergerak melebihi batas kewenangannya sehingga berpotensi mengancam tata
pemerintahan dalam bingkai sistem Negara Kesatuan. Untuk itu, ruang kerja
pengawasan ini harus memiliki batasan-batasan yang jelas, berupa tujuan dan
ruang lingkup pengawasan, bentuk dan jenis pengawasan, tata cara
menyelenggarakan pengawasan dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan
pengawasan[1].
Lotulung (1993) mengungkapkan bahwa
pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang bersifat
intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa
pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural
masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri.6 Bentuk kontrol semacam ini
dapat digolongkan dalam jenis teknis-administratif atau disebut pula built-in
control. Dan jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal
yaitu kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan
peradilan (judicial control) dalam hal terjadinya persengketaan atau perkara
dengan pihak Pemerintah[2].
Permasalahan yang muncul dari perda
menuntut adanya upaya untuk memperbaiki mekanisme review perda yang selama ini
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Optimalisasi
pengawasan atau review perda semakin relevan dengan realita di berbagai daerah
yang menunjukkan adanya dinamika dalam memproduk suatu perda. Review diperlukan
untuk memastikan tidak adanya penyimpangan regulasi di tingkat lokal dengan
regulasi di tingkat nasional dan untuk menjamin penerapan prinsip-prinsip dasar
negara hukum.
Peraturan perundang-undangan
mengatur dua mekanisme review atau pengawasan terhadap peraturan daerah, yaitu
executive review dan judicial review. Executive
review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh pemerintah (executive power), sementara itu judicial
review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh Mahkamah Agung
(judicative power). Kedua mekanisme ini dapat berujung pada pembatalan perda.
Dalam prakteknya dua mekanisme ini belum dapat berjalan optimal karena
dihadapkan pada beberapa permasalahan. Permasalahan dalam lingkup executive
review antara lain dipengaruhi oleh regulasi yang mengaturnya. Inkonsistensi
antara peraturan di tingkat yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat
teknis menyebabkan lemahnya implementasi sistem yang telah dibuat. Seperti
pengaturan kewenangan pembatalan, pelibatan pemerintah propinsi dalam mengawasi
perda kabupaten/kota, dan koordinasi dan kerjasama antara kementerian yang
mempunyai kewenangan terkait perda.
Selain regulasi, masalah dalam executive review juga disebabkan oleh
inisiatif dari kementerian yang berwenang untuk menjalankan sistem pengawasan
secara menyeluruh. Sementara itu, dalam pelaksanaan judicial review
permasalahan yang dihadapi antara lain terkait dengan mekanisme yang
menyulitkan masyarakat dalam menempuh prosedur untuk mengajukan judicial review
perda. Seperti pembatasan waktu pengajuan perda, pembebanan biaya pendaftaran
dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam
pemeriksaan permohonan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperbaiki
mekanisme review perda.
Perbaikan mekanisme review tersebut
merupakan syarat bagi peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia. Peningkatan kualitas perda yang dibentuk oleh tiap-tiap daerah dapat
berdampak positif bagi kemajuan daerah tersebut. Upaya perbaikan mekanisme
review perda meliputi: revisi peraturan mengenai pengawasan perda di wilayah
eksekutif, mensinergikan kegiatan atau program pada unit-unit kerja yang
terdapat di kementerian yang memiliki kewenangan terkait perda, dan membenahi
struktur organisasi di tingkat daerah (propinsi) untuk menjalankan perannya
dalam mengawasi perda. Sementera itu terkait dengan judicial review, upaya
perbaikan dilakukan dengan merevisi peraturan MA yang mengatur mengenai
pelaksanaan uji materiil untuk memudahkan masyarakat dalam mengajukan
permohonan judicial review. Selain itu, kewenangan judicial review perda ini
juga perlu diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
2.
Pandangan
Atas Reklamasi Teluk Jakarta dan Konsekuensi kebijakan tersebut.
Reklamasi
Teluk Jakarta pada kenyataannya berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sehingga,
pembahasannya pun harusnya melibatkan banyak pihak. Dari sektor ekonomi,
pemerintah dan pengembang mengeklaim didirikannya pulau buatan itu akan mampu
menunjang perekonomian dan memperindah Ibukota. Dari sektor sosial, proses
pembangunannya terbukti mengurangi penghidupan warga sekitar yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai nelayan. Belum lagi jika ditinjau dari aspek
lingkungan atau aspek-aspek lainnya.
Pemerintah
DKI Jakarta sendiri telah berulang kali menerbitkan peraturan untuk menjamin
kelangsungan reklamasi. Terbaru, sejak pertama dilantik pada 19 November 2014,
Gubernur DKI Jakarta ‘Ahok’ Basuki Tjahaja Purnama telah merilis sebanyak 4
(empat) izin pelaksanaan reklamasi. Mulai dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta No. 2238 Tahun 2014; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268
Tahun 2015; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015; dan
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015. Substansinya
senada, memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan reklamasi di
pesisir Jakarta.
Reklamasi
dimaksudkan untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu
pendapat yang mendukung proyek reklamasi. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak
mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan
wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985
pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan
lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun
kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan
baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun,
justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang
pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan
harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan
perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra.
Jika
memang untuk keperluan masyarakat, mengapa harus ada dugaan korupsi dan suap di
sana? Baru-baru ini di masyarakat juga beredar berita berupa iklan sejumlah
proyek di pantai Jakarta yang berbahasa Mandarin. Kebenaran isu ini memang
belum terkonfirmasi, tetapi sangat disayangkan apabila hasil dari reklamasi
Teluk Jakarta ini justru dinikmati oleh bukan masyarakat Jakarta dan Indonesia.
Pengawalan ketat dari masyarakat sangat diperlukan. Reklamasi hendaknya
dilakukan dengan landasan kebutuhan masyarakat.
Reklamasi
Teluk Jakarta tak hanya menimbulkan konflik vertikal, tapi juga horizontal.
Pasalnya, muncul berbagai pro dan kontra atas kebijak an reklamasi yang memun
culkan pertentangan antara kubu Ahok me lawan kubu sejumlah menteri. Men teri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan diperlukannya
pemberhentian reklamasi Teluk Jakarta.
Pada
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, proses dan kegiatan lingkungan harus diawasi. Selagi reklamasi
diberhentikan, masyarakat didorong untuk menjaga dan memperingatkan dampak di
luar aspek ekonomi, misal, menjaga lingkungan dan masyarakat agar tak
berkonflik.
Pemerintah
jangan hanya membuat kebijakan berdasarkan kepentingan politis dan ekonomi. Aspek
yang dapat dilihat selain ekonomi, yaitu sosial. Pembangunan sosial juga sering
diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi masalah sosial.
Kondisi sosial yang muncul ketika reklamasi dilanjutkan ialah adanya perpecahan
dan konflik sosial. Masyarakat tak lagi menaruh harapan pada pemerintah yang
hanya mengakomodasi kepentingan oknum atau pihak tertentu. Struktur, budaya,
dan proses yang tak berjalan dengan baik dari pemerintah menjadikan proses
reklamasi tak berjalan mulus sesuai yang diharapkan.
3. Contoh Kasus Agenda
Setting Kebijakan Publik
Dalam
agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu issue publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues)
sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues
biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor
mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn, issue
kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Namun tidak semua issue bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan[3].
Agenda
setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Karena dalam proses inilah ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Penyusunan agenda pemerintah ( agenda setting ) dimulai dari
kegiatan fungsional, meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan
Representasi; yang bermuara pada terusungnya suatu masalah publik dan atau
suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh pemerintah (pembuat kebijakan)
dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui kebijakan publik.
Produk riil dari proses penyusunan
agenda pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik)
menjadi opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya
menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan penyelesaiannya. Dalam proses
penyusunan Agenda jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Ada
banyak masalah publik yang muncul atau yang dituntut pemecahannya, tetapi tidak
semua masalah publik tersebut mendapat perhatian yang seksama dari para pembuat
kebijakan. Pilihan atau kecondongan perhatian pembuat kebijakan terhadap
sejumlah kecil atau beberapa masalah-masalah publik tersebut menyebabkan
timbulnya agenda kebijakan (policy agenda). Sebagai Contoh penulis akan
mengambil kasus Kebijakan Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Terkait Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan, Pelarangan Penggunaan Alat
Tangkap Serta Bongkar Muatan Di Tengah Laut
Operasi
kapal asing penangkap ikan di Indonesia semakin merajalela. Tindakan yang
sewenang-wenang di wilayah perairan Nusantara membuat kerugian yang sangat
besar. Hal ini sudah terjadi hampir selama 10 tahun terakhir sehingga
mulai dirasakan akibatnya. Akan tetapi dahulu Pemerintah dan masyarakat hanya
sedikit merasakan dampak dikarenakan belum fokus untuk mengelola potensi alam
di bidang kelautan sangat besar. Banyak industri perikanan Indonesia
seperti cold storage dan pengepakan ikan hancur satu
per satu karena tidak adanya bahan baku. Selain itu juga harga ikan di
berbagai daerah mulai mahal. Masyarakat mulai resah terhadap kenaikan harga
ikan di pasaran dan juga para nelayan mulai enggan melaut bukan disebabkan
karena kenaikan harga solar ataupun cuaca melainkan keresahan terhadap
praktekillegal fhishing kapal berbendera asing yang berdampak pada
pengurangan pendapatan hasil laut serta kerusakan ekosistem laut sebagai akibat
dari penggunaan alat tangkap.
Penggunaan
alat tangkap ikan di Indonesia mulai ditertibkan, karena dinilai dapat merusak
ekosistem laut. Kontribusi terhadap kerusakan ini bukan dari para nelayan
Indonesia, karena sebagian besar nelayan menggunakan alat tangkap tradisional,
melainkan dari para pencuri ikan negara lain yang menggunakan alat tangkap
terlarang untuk meningkatkan pendapatan hasil tangkapan, seperti :
1. Penggunaan
bahan peledak, bahan beracun, dan aliran listrik.
2. Penggunaan
jarring trawl.
3. Pengoperasian
Pukat Udang (Shrimp Net) dan Pukat Ikan (Fish Net).
Menurut
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; kerugian atas
pencurian ikan oleh kapal asing mencapai 20 miliar dollar
Amerika atau setara dengan 240 triliun rupiah per tahun. Dengan
rincian, bila satu kapal asing per tahun melaut
selama delapan bulan hasilnya akan mencapai 600
hingga 800 ton. Bila ikan yang ditangkap jenis tongkol dengan
harga per kilonya Rp 12.000, bisa dikalikan 600 ton, jadi berapa
kerugiannya. Jakarta, Jumat (5/12/2014). Sedangkan menurut Presiden
Joko Widodo; pendapatan yang masuk ke yang masuk ke kas negara hanya berkisar
60 triliun rupiah. Jumlah ini jauh melampaui hasil curian negara lain.
Maka
dari itu pemerintah kembali menertibkan kasus ini melalui kebijakan
penenggelaman kapal asing yang mencuri di wilayah perairan di
Indonesia, moratorium izin kapal dan
pelarangan transhipment / bongkar muatan di tengah laut serta larangan
penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem. Kebijakan ini, untuk mengatasi
berbagai masalah yang berdampak bukan hanya pada masyarakat tapi juga terhadap
sektor pendapatan negara.
Maka
dari itu ada berbagai pertanyaan yang kiranya dapat menemukan persoalan serta
mencari solusi atau alternatif terhadap masalah tersebut, yaitu :
1.
Apa penyebab dari masalah kenaikan harga
ikan di pasaran yang membuat masyarakat mulai resah, pendapatan Negara yang
tidak efisien dibandingkan dengan potensi alam yang dimiliki serta kerusakan
ekosistem laut ?
2.
Bagaimana cara atau solusi dalam
mengatasi masalah tersebut ?
3.
Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan serta implementasi dari kebijakan tersebut ?
4.
Apa tujuan atau target yang diharapkan
dari kebijakan ini ?
Berdasarkan
beberapa pertanyaan diatas maka dapat dijabarkan bahwa isu ini telah menjadi
proritas dalam agenda kebijakan pemerintah karena memenuhi beberapa kriteria masalah
publik.
No comments:
Post a Comment