Friday 27 May 2016

Analisis Kebijakan Publik (Pencabutan Perda Bermasalah,Reklamasi Teluk Jakarta, dan Penenggelaman Kapal Asing)

1.    Analisis Pencabutan Perda Bermasalah oleh Presiden Jokowi.
Dalam Konferensi Nasional Forum Rektor Indonesia 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, Presiden Jokowi memerintahkan Kementrian Dalam Negeri untuk mencabut Perda yang dianggap bermasalah. Menurut Presiden, kementerian berkewenangan untuk mencabut seluruh perda bermasalah tersebut tanpa kajian yang dapat memakan waktu. Sebagaimana kita ketahui bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk aplikasi Otonomi Daerah yaang merupakan amanah undnag-undang.
Lahirnya otonomi daerah sebenarnya diharapkan mengurangi sistem pemerintahan yang terlalu terpusat. Inti yang terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionery power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran-serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong oto-aktivitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu hanya mungkin terjadi, apabila pemerintah pusat mempunyai kesadaran dan keberanian politik, serta kemauan politik yang kuat untuk memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Kewenangan artinya keleluasan untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah maupun dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pusat, keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensial yang ada didaerahnya serta menggunakannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerahnya.
Istilah ”Perda bermasalah”, seperti pula ”otonomi kebablasan” atau ”desentralisasi korupsi”, mulai sering muncul sebagai wacana publik sepanjang berlakunya otonomi daerah. Selama ini, istilah ”Perda bermasalah” menunjuk pada cara pandang, tepatnya anggapan tentang masalah dan pihak yang disalahkan, yaitu ada kebijakan yang dinilai melanggar asas kepentingan umum atau aturan lebih tinggi, dengan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab (merujuk UU No 32/2004). Perda dikatakan bertentangan dengan kepentingan umum apabila pemberlakuan Perda tersebut berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, pelayanan umum, dan ketentraman/ketertiban umum. Bisa pula karena kebijakan yang tertuang didalamnya bersifat diskriminatif. Jadi, dapat diyakini, apabila dipaksakan pemberlakuannya maka akan menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagai contoh, banyak pengusaha dan warga masyarakat yang merasa keberatan dengan adanya pungutan ganda dalam perizinan. Pungutan ganda mengakibatkan disinsentif ekonomi yang dapat merusak pola perdagangan, inventasi dan produk yang konsekuensinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (higt cosh economy). Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah Perda yang baik prosedur pembentukan dan atau isinya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan lain yang dalam tata urutan perundangan berada di atas Perda.
Pengawasan yang terlalu ketat dilakukan Pemerintah Pusat tentunya dapat mengurangi kebebasan dalam konteks pelaksanaan otonomi. Pemerintah Daerah akan merasa terbelenggu dan terbatasinya ruang kerja desentralisasi untuk bekerja secara optimal memberdayakan para pemangku kepentingan di daerah dalam mengelola potensi melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi yang lain, bila pengawasan tidak dilakukan secara tepat dan proporsional oleh Pemerintah Pusat, daerah dapat untuk bergerak melebihi batas kewenangannya sehingga berpotensi mengancam tata pemerintahan dalam bingkai sistem Negara Kesatuan. Untuk itu, ruang kerja pengawasan ini harus memiliki batasan-batasan yang jelas, berupa tujuan dan ruang lingkup pengawasan, bentuk dan jenis pengawasan, tata cara menyelenggarakan pengawasan dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan[1].
Lotulung (1993) mengungkapkan bahwa pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang bersifat intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri.6 Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan dalam jenis teknis-administratif atau disebut pula built-in control. Dan jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal yaitu kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal terjadinya persengketaan atau perkara dengan pihak Pemerintah[2].
Permasalahan yang muncul dari perda menuntut adanya upaya untuk memperbaiki mekanisme review perda yang selama ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Optimalisasi pengawasan atau review perda semakin relevan dengan realita di berbagai daerah yang menunjukkan adanya dinamika dalam memproduk suatu perda. Review diperlukan untuk memastikan tidak adanya penyimpangan regulasi di tingkat lokal dengan regulasi di tingkat nasional dan untuk menjamin penerapan prinsip-prinsip dasar negara hukum.
Peraturan perundang-undangan mengatur dua mekanisme review atau pengawasan terhadap peraturan daerah, yaitu executive review dan judicial review. Executive review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh pemerintah (executive power), sementara itu judicial review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh Mahkamah Agung (judicative power). Kedua mekanisme ini dapat berujung pada pembatalan perda. Dalam prakteknya dua mekanisme ini belum dapat berjalan optimal karena dihadapkan pada beberapa permasalahan. Permasalahan dalam lingkup executive review antara lain dipengaruhi oleh regulasi yang mengaturnya. Inkonsistensi antara peraturan di tingkat yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat teknis menyebabkan lemahnya implementasi sistem yang telah dibuat. Seperti pengaturan kewenangan pembatalan, pelibatan pemerintah propinsi dalam mengawasi perda kabupaten/kota, dan koordinasi dan kerjasama antara kementerian yang mempunyai kewenangan terkait perda.
 Selain regulasi, masalah dalam executive review juga disebabkan oleh inisiatif dari kementerian yang berwenang untuk menjalankan sistem pengawasan secara menyeluruh. Sementara itu, dalam pelaksanaan judicial review permasalahan yang dihadapi antara lain terkait dengan mekanisme yang menyulitkan masyarakat dalam menempuh prosedur untuk mengajukan judicial review perda. Seperti pembatasan waktu pengajuan perda, pembebanan biaya pendaftaran dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam pemeriksaan permohonan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperbaiki mekanisme review perda.
Perbaikan mekanisme review tersebut merupakan syarat bagi peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Peningkatan kualitas perda yang dibentuk oleh tiap-tiap daerah dapat berdampak positif bagi kemajuan daerah tersebut. Upaya perbaikan mekanisme review perda meliputi: revisi peraturan mengenai pengawasan perda di wilayah eksekutif, mensinergikan kegiatan atau program pada unit-unit kerja yang terdapat di kementerian yang memiliki kewenangan terkait perda, dan membenahi struktur organisasi di tingkat daerah (propinsi) untuk menjalankan perannya dalam mengawasi perda. Sementera itu terkait dengan judicial review, upaya perbaikan dilakukan dengan merevisi peraturan MA yang mengatur mengenai pelaksanaan uji materiil untuk memudahkan masyarakat dalam mengajukan permohonan judicial review. Selain itu, kewenangan judicial review perda ini juga perlu diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.


2.    Pandangan Atas Reklamasi Teluk Jakarta dan Konsekuensi kebijakan tersebut.
Reklamasi Teluk Jakarta pada kenyataannya berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sehingga, pembahasannya pun harusnya melibatkan banyak pihak. Dari sektor ekonomi, pemerintah dan pengembang mengeklaim didirikannya pulau buatan itu akan mampu menunjang perekonomian dan memperindah Ibukota. Dari sektor sosial, proses pembangunannya terbukti mengurangi penghidupan warga sekitar yang mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Belum lagi jika ditinjau dari aspek lingkungan atau aspek-aspek lainnya.
Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah berulang kali menerbitkan peraturan untuk menjamin kelangsungan reklamasi. Terbaru, sejak pertama dilantik pada 19 November 2014, Gubernur DKI Jakarta ‘Ahok’ Basuki Tjahaja Purnama telah merilis sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi. Mulai dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015; dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015. Substansinya senada, memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta.
Reklamasi dimaksudkan untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara. Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra.
Jika memang untuk keperluan masyarakat, mengapa harus ada dugaan korupsi dan suap di sana? Baru-baru ini di masyarakat juga beredar berita berupa iklan sejumlah proyek di pantai Jakarta yang berbahasa Mandarin. Kebenaran isu ini memang belum terkonfirmasi, tetapi sangat disayangkan apabila hasil dari reklamasi Teluk Jakarta ini justru dinikmati oleh bukan masyarakat Jakarta dan Indonesia. Pengawalan ketat dari masyarakat sangat diperlukan. Reklamasi hendaknya dilakukan dengan landasan kebutuhan masyarakat. 
Reklamasi Teluk Jakarta tak hanya menimbulkan konflik vertikal, tapi juga horizontal. Pasalnya, muncul berbagai pro dan kontra atas kebijak an reklamasi yang memun culkan pertentangan antara kubu Ahok me lawan kubu sejumlah menteri. Men teri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan diperlukannya pemberhentian reklamasi Teluk Jakarta.
Pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, proses dan kegiatan lingkungan harus diawasi. Selagi reklamasi diberhentikan, masyarakat didorong untuk menjaga dan memperingatkan dampak di luar aspek ekonomi, misal, menjaga lingkungan dan masyarakat agar tak berkonflik.
Pemerintah jangan hanya membuat kebijakan berdasarkan kepentingan politis dan ekonomi. Aspek yang dapat dilihat selain ekonomi, yaitu sosial. Pembangunan sosial juga sering diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi masalah sosial. Kondisi sosial yang muncul ketika reklamasi dilanjutkan ialah adanya perpecahan dan konflik sosial. Masyarakat tak lagi menaruh harapan pada pemerintah yang hanya mengakomodasi kepentingan oknum atau pihak tertentu. Struktur, budaya, dan proses yang tak berjalan dengan baik dari pemerintah menjadikan proses reklamasi tak berjalan mulus sesuai yang diharapkan.
3. Contoh Kasus Agenda Setting Kebijakan Publik
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu issue publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn, issue kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua issue bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan[3].
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Penyusunan agenda pemerintah ( agenda setting ) dimulai dari kegiatan fungsional, meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui kebijakan publik.
            Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan penyelesaiannya. Dalam proses penyusunan Agenda jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Ada banyak masalah publik yang muncul atau yang dituntut pemecahannya, tetapi tidak semua masalah publik tersebut mendapat perhatian yang seksama dari para pembuat kebijakan. Pilihan atau kecondongan perhatian pembuat kebijakan terhadap sejumlah kecil atau beberapa masalah-masalah publik tersebut menyebabkan timbulnya agenda kebijakan (policy agenda). Sebagai Contoh penulis akan mengambil kasus Kebijakan Kementrian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Terkait Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan, Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Serta Bongkar Muatan Di Tengah Laut 
Operasi kapal asing penangkap ikan di Indonesia semakin merajalela. Tindakan yang sewenang-wenang di wilayah perairan Nusantara membuat kerugian yang sangat besar. Hal ini sudah terjadi hampir selama 10 tahun  terakhir sehingga mulai dirasakan akibatnya. Akan tetapi dahulu Pemerintah dan masyarakat hanya sedikit merasakan dampak dikarenakan belum fokus untuk mengelola potensi alam di bidang kelautan sangat besar. Banyak industri perikanan Indonesia  seperti cold storage  dan pengepakan ikan  hancur satu  per satu karena tidak adanya  bahan baku. Selain itu juga harga ikan di berbagai daerah mulai mahal. Masyarakat mulai resah terhadap kenaikan harga ikan di pasaran dan juga para nelayan mulai enggan melaut bukan disebabkan karena kenaikan harga solar ataupun cuaca melainkan keresahan terhadap praktekillegal fhishing kapal berbendera asing yang berdampak pada pengurangan pendapatan hasil laut serta kerusakan ekosistem laut sebagai akibat dari penggunaan alat tangkap.
Penggunaan alat tangkap ikan di Indonesia mulai ditertibkan, karena dinilai dapat merusak ekosistem laut. Kontribusi terhadap kerusakan ini bukan dari para nelayan Indonesia, karena sebagian besar nelayan menggunakan alat tangkap tradisional, melainkan dari para pencuri ikan negara lain yang menggunakan alat tangkap terlarang untuk meningkatkan pendapatan hasil tangkapan, seperti :
1.     Penggunaan bahan peledak, bahan beracun, dan aliran listrik.
2.     Penggunaan jarring trawl.
3.     Pengoperasian Pukat Udang (Shrimp Net) dan Pukat Ikan (Fish Net).
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; kerugian  atas pencurian  ikan oleh  kapal asing mencapai  20 miliar dollar Amerika atau setara dengan 240 triliun rupiah per tahun. Dengan  rincian,  bila satu kapal  asing  per tahun  melaut selama  delapan  bulan hasilnya akan mencapai  600  hingga  800 ton. Bila ikan yang ditangkap jenis tongkol  dengan  harga per kilonya Rp 12.000, bisa dikalikan  600 ton, jadi berapa  kerugiannya. Jakarta, Jumat (5/12/2014). Sedangkan menurut Presiden Joko Widodo; pendapatan yang masuk ke yang masuk ke kas negara hanya berkisar 60 triliun rupiah. Jumlah ini jauh melampaui hasil curian negara lain.
Maka dari itu pemerintah kembali menertibkan kasus ini melalui kebijakan penenggelaman kapal asing yang mencuri di wilayah perairan di Indonesia,  moratorium izin kapal dan pelarangan transhipment / bongkar muatan di tengah laut serta larangan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem. Kebijakan ini, untuk mengatasi berbagai masalah yang berdampak bukan hanya pada masyarakat tapi juga terhadap sektor pendapatan negara.
Maka dari itu ada berbagai pertanyaan yang kiranya dapat menemukan persoalan serta mencari solusi atau alternatif terhadap masalah tersebut, yaitu :
1.                        Apa penyebab dari masalah kenaikan harga ikan di pasaran yang membuat masyarakat mulai resah, pendapatan Negara yang tidak efisien dibandingkan dengan potensi alam yang dimiliki serta kerusakan ekosistem laut ?
2.                        Bagaimana cara atau solusi dalam mengatasi masalah tersebut ?
3.                        Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan kebijakan serta implementasi dari kebijakan tersebut ?
4.                        Apa tujuan atau target yang diharapkan dari kebijakan ini ?
Berdasarkan beberapa pertanyaan diatas maka dapat dijabarkan bahwa isu ini telah menjadi proritas dalam agenda kebijakan pemerintah karena memenuhi beberapa kriteria masalah publik.




[1] Huda, Ni’Matul, 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
[2] Ibid.
[3] William Dunn.1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik , Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

No comments:

Post a Comment