Sunday 13 January 2013

PRESIDENSIL , PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN

Negara hukum  ditandai dengan  adanya cabang – cabang kekuasaan negara yang memiliki fungsi dan wewenang tersendiri dalam penyelenggaraan  kekuasaan negara. Pendapat yang dipandang paling rasional adalah mengenai pembatasan kekuasaan negara yang didasarkan pada pemikiran akan adanya hak – hak dasar warga masyarakat dalam negara. Gagasan ini berkembang dan menimbulkan keinginan untuk menyelenggarakan hak – hak dasar itu secara efektif yang diwujudkan melalui adanya pembagian kekuasaan fungsi penyelenggaraan negara kedalam lembaga – lembaga negara. Gagasan yang paling luas adalah teori Montesquie mengenai pembagian kekuasaan negara ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudikatif  .
Suatu lembaga perwakilan dipandang sebagai institusi yang memiliki legitimasi kuat dalam pembentukan undang – undang, sementara penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Berbagai pola hubungan antara cabang kekuasaan negara tersebut mengarah kepada pencapaian pembagian kekuasaan yang seefektif mungkin agar prinsip demokrasi yang bersumber dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat terselenggara dengan baik.Download Skripsi Lainnya....

Antara sistem politik dan sistem konstitusi terdapat beberapa keterkaitan erat. Menurut Marnix VAN Damme sistem politik ialah lingkungan sosial ekonomi penyelenggaraan kekuasaan dan organisasi yang beroperasi di dalamnya serta gejala – gejalanya memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Sedangkan sistem konstitusi ialah pembatasan secara formal dari penyelenggaraan kekuasaan yang sah yang dalam tingkatannya terdapat dalam atau berdasar pada konstitusi. Oleh karena itu jika membicarakan sistem politik dalam suatu negara maka memiliki keterkaitan sistem konstitusi.
Di dalam sistem politik Indonesia rakyat adalah pemegang kedaulatan yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Oleh karena praktek penyelenggaraan negara harus bersumber dari kehendak rakyat dan dilaksanakan oleh lembaga – lembaga kenegaraan. Kedudukan DPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat disimak dari pernyataan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945, yaitu :
“ Parlemen perwakilan rakyat ini tidak dibagi menjadi dua, melainkan hanya satu kamar saja, dengan menghilangkan kamar yang pertama cukuplah mempunyai dewan perwakilan saja. Namanya disingkatkan menjadi dewan yaitu kekuasaan kecil daripada kedaulatan rakyat di dalam dan disebelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia. Maka dengan cara begini berdirilah suatu Kepala Negara dengan dua orang Wakil Presiden dan satu badan permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia dan satu dewan perwakilan. “ 

Ide mengenai Trias Politica  pernah diusulkan oleh anggota Perancang UUD 1945 namun kemudian usulan tersebut ditolak. Penolakan terhadap gagasan Trias Politica diketahui dalam Rapat BPUPKI. Keberatan terhadap ide Trias Politica dikemukakan  oleh Soekarno  :
“Sebaliknya Trias Politika sudah nyata tidak mencukupi....sekarang Rusia menolak Trias Politica sudah 22 tahun yang lalu. Sun Yat Sen juga menolak Trias Politica 30 tahun yang lalu.”
 Logika yang dibangun dalam relasi antara tiga pusat kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah bahwa UUD 1945 memang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal melainkan teori pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Dalam artian bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama – tama diwujudkan secara penuh dalam MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya dari majelis yang omnipotent inilah kekuasaan rakyat didistribusikan ke dalam fungsi – fungsi dimana lembaga presiden sebagai fihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya.  Sedangkan fungsi legislatif dibagikan secara seimbang antara Presiden dan DPR. Ismail Suny menegaskan bahwa dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). 
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Berfungsinya pengawasan tersebut akan memberikan warna dinamika hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Dimana secara garis besar dinamika tersebut terpola dalam hubungan yang seimbang antara eksekutif dengan legislatif dan hubungan yang dominatif dari legislatif atas eksekutif. Hubungan  yang seimbang terjadi ketika eksekutif dan legislatif masing – masing memiliki posisi tawar yang seimbang. Di sisi yang lain dewan yang solid menjadi kekuatan penyeimbang eksekutif yang kuat.
Fenomena yang terjadi pada masa Orde Baru cenderung menguntungkan lembaga eksekutif. Pada era Orde Baru posisi presiden sebagai eksekutif dalam sistem presidensil yang tidak jelas batasan kewenangannya semakin cenderung mendorong ke arah negatif yang menimbulkan penyalahgunaan wewenang.  Dalam melaksanakan kekuasaannya presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa kekuasaan presiden yang besar diberikan oleh UUD 1945 selama masa berlakunya cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan politiknya sendiri.
Pada masa pra amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia merumuskan hanya wewenang pokok dan umum masing – masing lembaga negara. Perincian untuk pelaksanaa wewenang ini diserahkan kepada lembaga tertinggi MPR dan lembaga legislatif  yang dikendalaikan oleh presiden. Dengan demikian secara praktis kekuasaan politik dan pemerintahan pada masa itu dikendalikan dan ditentukan oleh Presiden.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara eksekutif dan legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu mendukung kebijakan yang ditentukan oleh Soeharto.
Ketika reformasi bergulir dan berhasil menurunkan Soeharto dari kursi presiden yang didudukinya selama lebih kurang 32 tahun. . Presiden BJ Habibie yang diangkat menggantikan Soeharto berdasarkan pasal 8 UUD 1945 dimana terjadi kekosongan pemimpin negara.  Habibie juga ternyata tidak mampu bertahan karena pemerintahannya lebih dipandang sebagai reproduksi Orde Baru ketimbang suatu pemerintahan produk reformasi.  Perubahan UUD 1945 adalah salah dari sekian agenda reformasi yang diusung oleh seluruh kelompok dan kekuatan kelompok reformis. Ada dua jalan menuju perubahan konstitusi yaitu amandemen atau membentuk UUD baru. Tarik menarik dua gagasana reformasi konstitusi ini akhirnya selesai setelah tim kecil dari tujuh partai politik pemenang Pemilu 1999 yaitu Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PBlB dan Partai Keadilan serta PDI-P yang berhalangan hadir plus TNI pada 29 September 1999 menyepakati amandemen sebagai jalan reformasi konstitusi  . Yaitu amandemen terhadap batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, dan dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, sistem pemerintahan presidensil dan bentuk negara kesatuan.
Reformasi konstitusi dalam bentuk amandemen atau perubahan UUD 1945 ini dilakukan oleh karena UUD 1945 mengandung sejumlah kelemahan krusial misalnya tidak memberikan atribusi kewenangan yang jelas dan tegas kepada lembaga tinggi negara, menurut pasal – pasal ambigu dan bersifat executive heavy, dimana terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden dan tindak dilengkapi dengan instrumen check and balances. Selain itu tidak adanya aturan – aturan yang jelas mengenai hak – hak DPR sehingga menyulitkan lembaga legislatif untuk mengimplementasikan perannya. Pada perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 telah dilakukan pengaturan kembali distribution of powers sebagai upaya membentuk format politik Indonesia yang lebih demokratis. Kekuasaan negara dibagi secara seimbang diantara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam rangka checks and balances dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dilihat berdasarkan  interaksi antara eksekutif dan legislatif terjadi penguatan kekuasaaan legislatif terhadap eksekutif  setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang berkenaan dengan pasal-pasal yang mengatur fungsi legislasi DPR. Ini mengindikasikan adanya penguatan DPR yang sifatnya kelembagaan. 
 Implikasi dari pergeseran kekuaan legislatif  ialah bahwa Presiden dan badan – badan pemerintahan berubah menjadi pelaksana aturan (eksekutif) belaka. Kewenangan untuk mengatur jika ada haruslah dilandasi oleh atribusi yang bersumber pada kewenangan parlemen untuk mengatur atau membuat aturan. Dengan demikian produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden atau pemerintah tidak saja harus sesuai dengan UU yang ditetapkan oleh DPR tetapi juga sesuai dengan Ketetapan MPR dan juga UUD.
Akibat lebih lanjut dari pemangkasan kekuasaan legislatif Presiden ialah Presiden hanya mungkin mengatur sesuatu yang lain dari ketentuan Undang – Undang apabila materi aturan ini bersifat internal administrasi pemerintahan ataupun dalam hal terjadinya keadaan darurat dimana Presiden berwenang menerbitkan Perpu. Selain itu kewenangan Presiden untuk mengatur haruslah bersumber kepada kewenangan legislatif di DPR.Hal sebaliknya terjadi pada DPR akibat perubahan pertama dan kedua UUD 1945 justru kekuasaan dan kewenangannya makin menguat dan meningkat secara tajam. Bahkan sebagian kewenangan Presiden yang bersifat mutlak (preogratif) maupun kewenangan administrasi lembaga tinggi lainnya ikut beralih kepada institusi DPR.
 Menurut Jimly Ashiddiqy tidak ada pertentangan dan tidak ada tumpang tindih di antara kedudukan DPR dan Presiden dalam hal ini. Kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR namun pengesahan formal produk Undang – Undang itu dilakukan oleh Presiden. Hal demikian ini justru menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan diantaranya keduanya yaitu hak presiden untuk memveto suatu undang – undang yang sudah ditetapkan oleh DPR. Untuk menegaskan hal ini maka dalam Perubahan kedua UUD 1945 ketentuan dalam Pasal 20 itu ditambah dengan ayat (5) yang memberikan waktu 30 hari bagi Presiden untuk mengesahkan undang – undang itu. Jika dalam batas waktu yang ditentukan Presiden tidak juga mengesahkannya maka RUU tersebut dianggap berlaku menjadi undang – undang. Dari deskripsi ini tampak bahwa proses pembuatan undang – undang tetap dilakukan secara kolektif ditingkat pembahasan antara Presiden dan DPR..
Seiring dengan runtuhnya rezim otoritarianisme  gerakan reformasi telah memicu tumbuhnya banyak partai – partai baru. Hampir semua kelompok politik yang dimatisurikan melalui kebijakan monolitik bangkit membentuk partai politik baru dan lama. Menjelang pemilihan umum 1999 sebanyak 141  partai politik tedaftar di Departemen Kehakiman, kemudian dari saringan tahap pertama sebanyak 106  partai politik terdaftar di KPU, kemudian setelah diverifikasi dan disaring, maka peserta pemilu yang akhirnya lolos dan dianggap sah  jumlahnya mencapai 48 partai politik, diantaranya 21  partai berhasil memperoleh kursi diparlemen. Pada Pemilu 2004 yang lalu, sebanyak 112  partai terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan akhirnya terdaftar pada KPU terdapat 50 partai politik. Selanjutnya yang lolos sebagai peserta Pemiu 2004 hanya 24  partai politik. Dengan demikian Pemilu tahun 2004 juga menghasilkan sistem multipartai. Runtuhnya orde baru telah membuka peluang bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik. Suasana kehidupan kepartaian yang terjadi saat reformasi dapat dilihat juga  pada sejarah kelahiran partai – partai politik dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 atas desakan BPKNIP untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dalam sistem multipartai.
Sebagai dampak dari tidak adanya reformasi kelembagaan sebagai fondasi bagi arena politik lembaga demokrasi terutama Presiden, DPR dan MPR. Pemilu 1999 menghasilkan polarisasi kekuatan di DPR, sehingga tidak ada satupun partai politik yang menguasai kursi secara mayoritas. Konsekuensinya bahwa pemerintah hasil pemilu harus didasarkan pada koalisi di antara partai – partai yang ada agar presiden terpilih memiliki legitimasi politik yang kuat. Sementara pada saat yang sama format kelembagaan yang ada memungkinkan sebagai format politik yang baru berbasis sistem multipartai. maka percaturan politik pasca pemilu 1999 sangat diwarnai oleh perbedaan penafsiran dan kelompok dari para elite politik partai – partai besar yang tengah bersaing. Dilema yang diwarisi format politik produk Pemilu 1999 adalah posisi presiden yang relatif lemah dalam berhadapan dengan DPR karena adanya mekanisme memorandum yang memungkinkan partai – partai melalui wakilnya yang duduk di parlemen memecat presiden melalui MPR. Hal inilah merupakan salah satu penyebab ketidakharmonisan hubungan eksekutif dan legislatif. 
Ketergantungan politik presiden terhadap DPR dan MPR yang berintikan para politisi partai ini tentu saja berdampak langsung dalam efektifitas kebijakan yang dihasilkan oleh kabinet. Implikasi lebih jauh dari format politik demikian adalah bahwa dalam mengangkat dan memberhentikan para menteri, presiden benar – benar harus memperhitungkan kemungkinan dukungan dan penolakan yang diberikan oleh partai – partai politik di parlemen. Ditengah realitas demikian para elite politik, ironisnya tidak kunjung menyadari urgensi reformasi kelembagaan sebagai wadah bagi format politik baru.  
Sejak reformasi tidak ada satupun presiden berhasil mengontrol birokrasi negara. Kemampuan presiden dan wakil presiden untuk terus menciptakan keserasian hubungan dengan parlemen (DPR) yang multipartai sangat menentukan keberhasilan lembaga kepresidenan menjalankan fungsinya. Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu terjadi di setiap pemerintahan. Pada masa Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur. Pada periode Presiden Abdurrahman Wahid merupakan periode reformasi. Kekuasaan presiden pada periode ini sesuai dengan UUD 1945 yaitu sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara. MPR hasil pemilu tahun 1999 memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI keempat. Abdurrahman Wahid memangku jabatan Presiden RI dari tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan tanggal 23 Juli 2001. Kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid mengalami pasang surut. Secara politis Abdurrahman Wahid hanya didukung oleh partai kecil akan tetapi dengan suara mayoritas MPR memilih dan menetapkannya sebagai Presiden RI keempat. Kasus pemberhentian Kepala Kepolisian RI dan perbedaan pendapat dengan DPR merupakan bagian dari kemorosotan tersebut Di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid selain tidak terciptanya harmoni antara Presiden dan wakil presiden juga terjadi konflik yang berkepanjangan antara Presiden dan Parlemen. Pernyataan dan kebijakan politik Abdurrahman Wahid dinilai banyak menimbulkan kontroversi. Sehingga pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid harus mengakhiri kepemimpinannya sebelum masa jabatannya berakhir.
Pemilu 2004 menghasilkan konfigurasi politik yang khas. Dimana parlemen diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi dari tujuh belas partai politik yang terbagi menjadi 550 kursi di DPR dan sebanyak tujuh partai besar yang menguasai hampir 91 persen kursi di parlemen tanpa adanya satu kekuatan yang dominan. Diletakkan dalam konteks tata kelola negara berdasarkan empat kali amandamen atas UUD 1945 maka yang terbangun adalah kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multipartai. Di satu sisi presiden memiliki legitimasi politik yang kuat karena dipilih langsung melalui mekanisme dua putaran pemilihan dan DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan besar.
Presiden keenam RI yang merupakan presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis. Hal ini termuat dalam Keputusan Nomor 98/SK/KPU/2004 tanggal 4 Oktober 2004 menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wapres terpilih. Keputusan ini diperoleh melalui perolehan suara pasangan ini yakni 44.990.704 suara.  Presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda yakni Partai Demokrat (56 kursi) dan Partai Golkar (127 kursi). Konstitusi tidak memposisikan wakil presiden sebagai institusi yang terpisah dengan presiden. Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan bahwa wakil presiden berkewajiban membantu presiden. Tetapi dalam praktek politik Kalla memiliki modal politik untuk tidak terbawahi oleh lembaga kepresidenan. Pertama wapres juga dipilih langsung dalam satu paket dengan presiden dan yang kedua, wapres menjadi penting setelah menjadi Ketua Umum Golkar yang bukan menjadi sosok personal melainkan figur institusional dimana wapres adalah pengendali partai besar dan memiliki kursi paling besar di parlemen.
Pemerintahan SBY – Kalla terbangun di tengah komposisi yang khas. Pengaturan kelembagaan yang disepakati melalui peket UU Politik telah mendorong koalisi antar partai dalam pemilu presiden 2004. Koalisi adalah persekutuan antara duat atau lebih politisi untuk mencapai kepentingan bersama. Setelah memenangi pemilu kemudian membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang melibatkan beberapa partai politik dan didukung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Keberhasilan Kalla pada tahun 2005 merebut kursi ketua umum Golkar kemudian semakin memperkuat koalisi ini dimana diantaranya bergabungnya Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Golongan Karya, PKS dan lain-lain. Tetapi dalam prakteknya tidak semua konsisten untuk mendukung kebijakan yang diambil presiden.
Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan SBY ini patut dicermati. Dengan membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang bukan merupakan kabinet keahlian melainkan kabinet koalisi. Hal ini dilakukan SBY berusaha untuk mencegah rongrongan dari DPR dengan membentuk kabinet koalisi dari partai-partai. Selain itu mengingat pemerintahan menganut sistem presidensial memposisikan lembaga legislatif dan eksekutif relatif independen, meskipun dalam soal fungsi legislasi, pihak DPR dan eksekutif mempunyai kewenangan sama. Namun dalam pengambilan kebijakan akhir soal legislasi tetap berada di tangan DPR. Komposisi kabinet adalah cermin pemerintahan koalisi partai. Asumsinya, roda pemerintah bisa bergerak lancar bila stabilitas politik terjaga. Sumber stabilitas politik, salah satunya adalah bagaimana menguasai jumlah mayoritas suara sekaligus mempengaruhi kebijakan DPR. Dukungan partai politik kepada Susilo Bambang Yudhoyono sangat penting untuk menambah kadar legitimasi otoritas kekuasaannya.
Salah satu gagasan politik yaitu untuk menciptakan keseimbangan yang baik antara lembaga DPR dan lembaga presiden, yang sekaligus mewakili kepentingan seluruh masyarakat dan menjamin kehadiran pusat pengambilan keputusan yang efektif. Pemikiran politik itu terbukti tidak terlaksana. Posisi presiden dan lembaga legislatif sama kuat dan masing-masing memiliki dasar dan pijakan konstitusi. Pada satu sisi, mekanisme pemilihan presiden dilakukan secara langsung, akan tetapi pada sisi lain, lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR dan MPR memiliki posisi dan kedudukan yang kuat secara instutusi. Nuansa politik yang menginginkan lembaga presiden tidak terlalu kuat sangat nyata saat pembahasan amandemen keempat UUD pada periode lalu. Persoalannya kemudian, jika ada dua lembaga negara yang sama-sama kuat dan satu sama lain sering kali tidak bisa menyatukan kepentingannya. Yang terjadi kemudian adalah tarikan-tarikan politik yang kuat dan tajam. Tarikan antara legislatif di satu sisi, dengan mandatnya sendiri sementara presiden di sisi lain, yang mandatnya lebih kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Eksekutif selama ini lebih tampak tidak berdaya untuk membuat kebijakan-kebijakan karena sering dihadang oleh legislatif.
Dengan posisi sama kuat seperti itu, yang terjadi sekarang justru ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan ini tidak ekstrim seperti masa Presiden Abdurahman Wahid, tetapi dalam kadar tertentu, selama era kepemimpinan Presiden SBY-JK ketidakstabilan itu juga tampak dalam setiap pengambilan keputusan strategis yang harus mendapat persetujuan DPR Dalam kaitan ini  banyaknya interpelasi DPR terhadap beberapa kebijakan yang dikeluarkan Presiden.  Pola hubungan antar lembaga negara menjadi ruwet dan sering konflik, intervensi partai politik di parlemen sangat kuat terhadap presiden telah menciptakan ketidakstabilan dalam politik.
Masing – masing lembaga negara telah memiliki fungsi dam wewenangnya masing – masing yang diatur dalam Undang – Undang. Sehingga diperlukan keseimbangan antara masing – masing lembaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Perbedaan pandangan mengenai lembaga – lembaga negara di Indonesia selalu menjadi pembahasan yang menarik, bahkan UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga tersebut khususnya lembaga eksekutif dan legislatif.Dengan konteks seperti yang terjadi  diperlukan adanya keseimbangan antara lembaga DPR, yang akan mewakili secara khusus kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam, dan lembaga presiden yang, harus berperan sebagai pusat pengambilan keputusan yang paling pokok untuk masa depan bangsa Pada era reformasi sering terjadi hubungan yang kurang baik antara eksekutif dan legislatif. Dimana pasca empat kali dilakukan amandemen UUD 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif dan legislatif .Kombinasi Sistem multipartai yang diterapkan dalam sistem presidensil pada masa reformasi menjadi kendala menyangkut hubungan eksekutif dan legislatif. Berdasarkan dari permasalahan yang dipaparkan diatas maka penulis ingin menguraikan tentang hubungan eksekutif dan legislatif pasca amandemen dalam sistem presidensil
Download Skripsi Lainnya....

No comments:

Post a Comment